DICARI YANG BERPENGALAMAN

DICARI YANG BERPENGALAMAN

 


Ada seorang nabi yang mempunyai mantra untuk menghidupkan tulang orang mati. Murid-muridnya berkali-kali meminta agar nabi itu memberikan mantra tersebut kepada mereka. Tetapi nabi selalu menjawab, "Sabarlah. Kamu perlu pengalaman lebih dulu. Kamu perlu belajar bijak dari pengalaman. Tunggulah sampai kamu menjadi lebih matang. Nanti saya pasti akan memberikan mantra itu.”

Akan tetapi, murid-muridnya tetap mendesak. Mereka terus mendesak. Akhirnya dengan berat hati nabi itu memberikan mantra yang mereka minta itu. Para murid itu gembira. Mereka langsung meninggalkan sang guru. Mereka ingin mencoba mantra itu. Di perjalanan mereka melihat ada beberapa batang tulang berserakan. "Mari kita coba sekarang!" Lalu mereka menggunakan mantra itu. Apa yang terjadi? Tulang-tulang itu mulai bergerak. Mantera itu ampuh! Dengan mata terbelalak mereka melihat tulang-tulang itu mulai ditumbuhi daging. Lalu menjadi kerangka. Ternyata kerangka itu menjadi serigala yang hidup dengan mata yang liar. Murid-murid itu lari ketakutan. Namun, mereka dikejar serigala itu. Mereka diterkam. Mereka tewas terkoyak-koyak.

Kepandaian dan kekuasaan bukan segala-galanya. Orang yang pandai dan berkuasa belum tentu bijak dalam menggunakan kepandaian dan kekuasaannya. Mereka belum berpengalaman. Namun, apa artinya pengalaman? Pdt. A sudah sepuluh tahun bekerja, sedangkan Pdt. B lima tahun. Siapa yang lebih berpengalaman? Apa Pdt. A? Belum tentu. Kedua pendeta itu tiap tahun mengajar katekese. Pdt. A sudah sepuluh kali mengajar, tetapi bahan yang digunakan selalu sama, begitu juga cakupan, urutan dan caranya. Pdt. B sudah menggunakan lima macam pendekatan yang berbeda. la lalu membandingkan dan menilai kelima macam kelas yang berbeda itu. Nah, siapa yang lebih berpengalaman? Jelas, Pdt. B lebih berpengalaman walaupun masa kerjanya lebih singkat. Pengalaman belum tentu identik dengan panjangnya masa kerja.

Pengalaman lebih dari sekadar mengalami sesuatu. Apa yang kita lihat, dengar, atau kerjakan belum tentu menjadi pengalaman. Apa yang kita kerjakan baru menjadi pengalaman kalau kelak kita bisa memanfaatkan kesalahan dan keberhasilannya untuk pekerjaan kita yang selanjutnya. Kualitas sebuah pengalaman diukur dari kemampuan kita untuk menarik pelajaran dari pengalaman itu. Pakar pendidikan John Dewey (1859-1952) dalam buku Experience and Education menulis, "Everything depends upon the quality of the experience which is had. The quality of any experience... is its influence upon later experiences... wholly independent of desire or intent, every experience lives on in further experiences."

Dalam pengertian itu kita berkata bahwa cara belajar yang terbaik adalah belajar dari pengalaman. Bukan pengalaman dalam arti sekadar mengalami, melainkan bertanya apa yang aku pelajari dari apa yang kualami, apa kelemahanku, apa kekuatanku, apa yang perlu diperbaiki, apa yang perlu diubah, apa manfaat yang diperoleh orang banyak dari semua ini?

Pengalaman baru bisa disebut pengalaman kalau apa yang dialami itu diuji secara kritis. Untuk itu, dibutuhkan sikap jujur terhadap diri sendiri dan mau mengakui kebodohan sendiri. Orang yang cepat berpuas diri biasanya miskin pengalaman, walaupun apa yang dialaminya banyak. Kualitas pengalaman diukur dari intensitas. Hidup Yesus di bumi hanya 33 tahun, tetapi hidup-Nya begitu intens (= dalam, hebat, padat, berarah), karena la mempunyai intensi (= tujuan, maksud) yang jelas, yaitu "untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Mrk. 10:45).

Hidup yang bermutu menghasilkan pengalaman. Pengalaman menghasilkan sikap bijak. Pengalaman menjadikan orang berhati-hati dan mempertimbangkan segala sesuatu secara tenang dan matang. la melihat persoalan bukan hanya dari satu perspektif atau darii kepentingan sendiri, melainkan juga dari pelbagai perspektif atau dari kepentingan orang banyak. Ia tidak begitu saja maju dan menerjang. Jika perlu, ia bersedia berhenti dan menepi. Seperti ditulis oleh pengarang Amsal, "Kalau orang bijak melihat malapetaka, bersembunyilah ia, tetapi orang yang tak berpengalaman berjalan terus, lalu kena celaka" (22:3).

Perhatikan bahwa ayat itu mempertentangkan antara "bijak" dan "tak berpengalaman". Pola itu terdapat di sepanjang Kitab Amsal (contoh eksplisit lain ada di dalam 14:15). Menurut Amsal, orang yang mau bijak perlu belajar dari pengalaman. Pandai dan berkuasa belum berarti bijak dan berpengalaman. Murid-murid nabi tadi sudah pandai dan berkuasa karena mereka mempunyai mantera yang mampu menghidupkan tulang. Namun, mereka terburu nafsu untuk menggunakan kepandaian dan kekuasaan. Tulang yang mereka hidupkan ternyata tulang serigala. Mereka menghidupkan sesuatu yang kemudian mematikan mereka. Mereka sudah mempunyai kepandaian dan kekuasaan. Namun, mereka belum mempunyai sifat bijak dan pengalaman.

KRISIS VERSUS KEMUDAHAN

KRISIS VERSUS KEMUDAHAN

 


Enggano adalah sebuah pulau kecil dekat Bengkulu. Pada Perang Dunia Il pulau itu dijadikan tempat penyimpanan persediaan makanan untuk pasukan Jepang. Ketika Jepang menyerah, semua gudang itu ditinggalkan untuk penduduk setempat. Ternyata isi gudang itu luar biasa banyaknya. Padahal pada waktu itu jumlah penduduk Pulau Enggano hanya sekitar lima ratus jiwa. Maka, dibagilah isi gudang itu. Tiap jiwa termasuk bayi mendapat 4 karung beras, 1 peti corned beef, 1 peti ikan sarden, 10 kaleng besar biskuit, dan banyak jenis makanan lain dalam peti besar. Dengan persediaan makanan yang begitu banyak di tiap rumah, orang tidak merasa perlu lagi bersawah dan berkebun. Tiap hari mereka hanya bersantai-santai.

Dua tahun kemudian persediaan makanan itu mulai habis. Lalu mereka mulai menggarap sawahnya lagi. Tetapi, apa yang terjadi? Sawah dan kebun mereka sudah penuh dengan alang-alang. Diperlu kan waktu beberapa bulan untuk mengolah tanah itu kembali. Ketika kemudian mereka bisa menanam, keadaan sudah terlambat. Persediaan makanan sudah betul-betul habis. Untuk menunggu panen diperlukan waktu setengah tahun. Akibatnya mereka kelaparan. Apa yang sebenarnya terjadi? Penduduk pulau itu mendapat kemudahan. Mereka tidak usah bekerja karena ada persediaan makanan untuk sekian tahun. Kerja keras berubah menjadi malas-malas. Ketika mereka mau bekerja lagi, sawah sudah menjadi belukar. Kemudahan membuat orang jadi terlena.

Pada hakikatnya orang cenderung memilih yang mudah. Mudah berarti tidak memerlukan banyak tenaga atau pikiran dalam mengerjakannya. Mudah berarti tidak berat, tidak sukar dan tidak melelahkan. Di sekolah murid lebih senang mendapat soal yang mudah. Di tempat kerja kita memilih tugas yang mudah. Begitu juga dalam hidup, kita lebih senang berada dalam keadaan yang mudah. Kebalikan dari ke mudahan adalah kesulitan, tantangan, dan krisis. Memang kemudahan terasa menyenangkan. Kemudahan terasa sebagai berkat. Namun, dalam jangka panjang, apakah kemudahan itu berkat, ataukah bencana?

Menurut psikologi perkembangan, orang bertumbuh kepribadiannya melalui delapan tahap. Pada tiap tahap terjadi krisis. Misalnya pada tahap pertama, ketika anak berusia sekitar 1,5 tahun, ia mengalami krisis kecurigaan dasar versus kepercayaan dasar. Ia merasa curiga bahwa dirinya kurang diterima oleh pengasuhnya dan bahwa ia akan ditinggalkan sebatang kara. Jika bayi tidak berhasil mengatasi krisis ini, kelak ia menjadi orang dewasa yang cenderung berprasangka dan kurang bisa memercayai orang lain. Ia menjadi orang yang usianya dewasa, namun tahap kepribadiannya belum beranjak dari masa usia 1,5 tahun. Sebaliknya, jika bayi ini berhasil mengatasi krisis lalu merasa diterima dan bisa memercayai bahwa pengasuhnya ada meskipun tidak kelihatan, bayi ini bisa bertumbuh kepribadiannya ke tahap berikutnya. Kepribadian tumbuh melalui krisis. Keberhasilan mengatasi krisis adalah syarat untuk bisa maju ke tahap berikut.

Prinsip ini juga tampak dalam teori perkembangan masyarakat Kelompok masyarakat mana yang lebih maju? Arnold Toynbee, pakar sejarah kebudayaan, mengamati bahwa dari zaman purba hingga kini kelompok masyarakat yang lebih cepat maju adalah kelompok pendatang atau migran. Berbeda dari penduduk lama, kaum migran lebih terbuka dan lebih siap menghadapi ketidakpastian, perubahan, dan krisis. Mereka datang dengan tangan kosong, namun dengan hati yang penuh idealisme. Penduduk lama sudah mapan dengan pelbagai kemudahan sehingga tidak mempunyai dorongan untuk banting tulang, padahal para pendatang masih harus bergerak untuk survive. Karena itu, pada umumnya para pendatang lebih ulet, lebih hemat, dan lebih rajin. Hal ini menunjukkan bahwa kemudahan dapat membuat orang jadi statis, sedangkan krisis dapat membuat orang menjadi dinamis.

Para pengarang Perjanjian Lama bersaksi bahwa walaupun Allah mengasihi umat pilihan-Nya, Allah tidak memberi kemudahan kepada umat-Nya. Sebaliknya, Allah malah membawa umat-Nya berjalan melalui krisis. Kasus itu tampat mencolok pada peristiwa Eksodus. Umat menempuh perjalanan dari delta Nil ke Kanaan yang berjarak sekitar 250 km atau kira-kira seperti dari Jakarta ke Cirebon. Secara wajar perjalanan itu dapat ditempuh dalam beberapa minggu. Namun, Allah membawa umat-Nya ke jalur yang lebih jauh dan lebih sulit sehingga akibatnya perjalanan mereka memakan waktu 40 tahun. Selama 40 tahun itu umat bukan menghadapi kemudahan, melainkan justru kesulitan dan krisis. Umat mengira bahwa mereka tidak dikasihi Allah. Akan tetapi, sebenarnya justru karena Allah mengasihi umat-Nya, la membawa mereka berjalan melalui pelbagai kesulitan sebab Allah bermaksud agar dengan kesulitan dan krisis itu umat-Nya ber tumbuh menjadi bangsa yang tangguh.

Cara Allah mendidik ini juga kemudian dicatat oleh pengarang Surat Ibrani sebagai berikut, "Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan la menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak. Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang... Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya" (Ibr. 12:5b 11).

Dari perikop tersebut dapat ditarik paling sedikit enam dalil teologi yang pedagogis (atau: dalil pedagogi yang teologis). Pertama, Allah digambarkan sebagai orangtua dan kita sebagai anak-anak-Nya yang dikasihi. Kedua, karena itu Allah mendidik kita. Ketiga, cara mendidik yang baik bukanlah dengan memberi kemudahan, melainkan dengan memberi ganjaran (Yunani: paideia.k.k. paideuo = menegur, memarahi, menghukum, mendisiplin, menghajar). Keempat, sebab itu Allah memberi paideia kepada kita. Kelima, paideia tidak terasa menyenangkan, malah menyakitkan. Keenam, tetapi dalam jangka panjang, paideia memberi manfaat kepada kita. Jadi, pokok utama perikop ini adalah: Allah mendidik kita sebab itu la tidak memberi kemudahan, tetapi kesulitan dan tantangan. Di sini Allah digambarkan sebagai Allah yang edukatif atau sebagai pendidik ulung yang mempunyai visi tujuan mendidik untuk jangka panjang.

Konteks perikop ini adalah Surat Ibrani yang menekankan pokok bahwa Allah mewujudkan diri-Nya dalam mewujudkan perbuatan-Nya dalam sosok Yesus. Itu berarti bahwa hidup Yesus merupakan petunjuk cara Allah mendidik. Sebab itu, hidup Yesus tidak berisi kemudahan tetapi krisis. Selama 33 tahun Yesus memilih jalan yang tidak mudah tetapi jalan yang penuh penderitaan. Akan tetapi, justru karena Yesus menempuh jalan itu dan setia sampai akhir, la menjadi simbol kemenangan atas penderitaan. Teologi Yesus bukan teologi kemudahan, melainkan teologi ketangguhan, yaitu tangguh dalam kesulitan dan krisis.

Lima ratus tahun sebelum Yesus mengajar, ternyata Kung Fu Tse memandang krisis dan kesulitan sebagai unsur yang positif dalam proses didik-mendidik. Dalam bahasa Cina krisis adalah wei-ji dan aksaranya merupakan gabungan dari aksara wei-jien (= bahaya) dan aksara ji-hwee (= peluang). Maksudnya adalah bahwa peluang mengandung bahaya atau risiko. Mereka yang mau mendapat peluang atau kesempatan harus mau menanggung risiko. Sebaliknya, dalam tiap risiko tersembunyi peluang. Orang yang pasif hanya bisa meratap kalau ditimpa kesulitan, tetapi orang yang kreatif dan produktif justru bisa memanfaatkan kesulitan sebagai peluang untuk bangkit kembali dengan strategi baru. Dalam aksara wei-ji terkandung hikmah yang dalam: peluang untuk maju timbul bukan dari kemudahan, melainkan dari kesulitan.

Sebetulnya kita tahu bahwa kemudahan bisa membuat orang jadi malas, sedangkan tantangan dan kesulitan bisa membuat orang jadi tangkas. Namun, kalau kita boleh memilih antara kemudahan dan kesulitan, kita akan memilih kemudahan sebab kemudahan itu enak padahal kesulitan terasa kejam dan menyakitkan.

Itu sebabnya banyak orangtua demi cinta melimpahkan pelbagai kemudahan kepada anaknya. Coba perhatikan, banyak anak TK dibawakan tas dan botolnya oleh penjemputnya. Ada anak yang sudah mampu mengikat tali sepatu sendiri, namun ibunya masih turun tangan. Ada calon mahasiswa yang formulir pendaftarannya diisi oleh orangtua. Semua orangtua mencintai anaknya, tetapi sering kali cinta itu diwujudkan dalam bentuk yang keliru, yaitu dalam bentuk kemudahan dan proteksi berlebihan. Hidup anak itu menjadi sangat mudah. Segala macam kemudahan sudah tersedia.

Anak yang sejak kecil sudah terbiasa dengan kemudahan, nantinya bisa menjadi orang yang kepribadiannya rapuh dan cepat ambruk. Artinya, ia tidak kuat menanggung beban frustrasi. Ia juga enggan berprakarsa. Motivasinya lemah dan daya juangnya rendah. la takut pada kesulitan; padahal hidup ini terdiri atas deretan persoalan yang sulit: pelajaran, pekerjaan, pergaulan, pernikahan, kesehatan, keuangan, dan sebagainya. Sebab itu, tokoh Pendidikan Agama Kristen Friedrich Froebel (1782-1852) berkata bahwa anak sejak kecil perlu dibimbing untuk menerima dan mengatasi pelbagai kesulitan sebagai bagian yang tak terelakkan dalam hidup. Froebel menentang pandangan bahwa kesulitan merupakan hukuman dari Tuhan atau bahwa kemudahan merupakan upah dari Tuhan atas kebaikan kita. Menurut Froebel, hidup baik dan saleh itu sendiri sudah merupakan keuntungan sebab itu hidup baik dan saleh tidak perlu diupahi dengan kemudahan, sukses, dan keuntungan duniawi.

Contoh tentang kemudahan biasanya tampak dalam bisnis keluarga. Banyak bisnis keluarga berawal dari seorang miskin yang banting tulang dan peras keringat. Usahanya mulai dari nol. Berkat sifatnya yang rajin dan hemat, usahanya berkembang menjadi besar. Kemudian perusahaan ini diwariskan kepada generasi kedua yang berupaya untuk bertahan. Namun, begitu tiba pada generasi ketiga, banyak bisnis keluarga bangkrut sebab sifat rajin dan hemat dari generasi pertama sudah luntur.

Laporan konferensi tentang Bisnis Keluarga di Asia Pasifik berbunyi, "Perusahaan keluarga yang dibangun generasi pertama dan berkembang pesat menjadi perusahaan raksasa oleh generasi kedua, akhirnya hancur oleh generasi ketiga karena generasi ini hidup dalam kemewahan dan tidak pernah melihat pengorbanan dan kegigihan orangtua mereka... generasi ketiga, sebagai anak-anak orang kaya tidak melihat perlunya bekerja keras. Mereka tidak mau susah dan tidak memiliki semangat ..." Kemudahan memang tampak enak. Akan tetapi, kemudahan bisa membuat kita jadi terlena. Di mana seorang pengemudi mobil m ngantuk? Bukan di jalan yang sulit dan sempit, melainkan di jalan yang mudah dan mulus.

Kemudahan membuat kita lengah. Maka, demi cinta kepada umat-Nya Allah tidak memberi kemudahan. Allah malah membawa kita berjalan melalui kesulitan dan krisis. Sebab itu, kesulitan dan krisis jangan dilihat sebagai hukuman Allah, melainkan sebagai didikan Allah. Adanya krisis bukanlah tanda bahwa Allah marah, melainkan bahwa Allah prihatin kepada kita. Kata pengarang Ibrani, "Allah menghajar kita untuk kebaikan kita" (12:10).

Memang tiap krisis terasa menyakitkan dan membahayakan. Namun, tiap krisis juga mengandung peluang; peluang untuk memperbaiki diri, memperbaiki perencanaan, dan memperbaiki kebijakan. Kita bisa terpuruk akibat krisis, tetapi kita bisa juga bangun dari krisis itu dengan jiwa yang lebih dewasa. Umat Allah di zaman Eksodus mengalami krisis selama 40 tahun lalu muncul sebagai bangsa yang tangguh. Kemudahan membuat orang menjadi rapuh, kesulitan membuat orang menjadi tangguh.

Dalam hidup Yesus tidak ada kemudahan, yang ada malah penderitaan. Namun, la bangkit dari penderitaan itu sebagai pemenang. Rasul Paulus turut merasakan kemenangan itu sehingga ia bersaksi, "Syukur bagi Allah yang dalam Kristus selalu membawa kami di jalan kemenangan-Nya" (2 Kor. 2:14).

TIKUS ITU MEMANG ORANG RAKUS

TIKUS ITU MEMANG ORANG RAKUS

 

Pernahkah Anda memperhatikan perangkap tikus yang terbuat dari kawat? Di dalamnya ada kaitan tempat menggantungkan sepotong makanan sebagai umpan. Kalau makanan itu tergoyang, lepaslah kaitan kawat itu dan terjeratlah tikus itu.

Mengapa tikus bisa terjerat di situ? Apakah karena kurang berhati-hati? Sama sekali bukan. Tikus justru terkenal sebagai binatang yang sangat tinggi tingkat kewaspadaannya. Tikus juga sangat cerdas dan gesit. la tahu bahwa makanan yang digantung itu merupakan umpan. Sebab itu, ia sangat berhati-hati. Seekor tikus bisa memakan sebagian dari umpan itu tanpa menggoyangkan kaitan kawat. Orang yang suka memasang jerat tikus tahu bahwa umpan itu sering sebagian dimakan oleh tikus, namun tikusnya sendiri tidak terjerat. Memang, kalau umpan itu dimakan dengan hati-hati, ada kemungkinan bahwa kaitannya tidak tergoyang.

Kalau toh tikus begitu hati-hati dan pandai, mengapa pada suatu hari ia terjerat juga? Sebabnya adalah karena tikus itu serakah. la berpikir bahwa sejauh ini ternyata kaitan itu tidak tergoyang, maka ia datang lagi dan menggerogoti lagi umpan. Namun, pada suatu saat kaitan itu tergoyang juga dan terjeratlah dia.

Dibandingkan dengan beberapa binatang lain, tikus memang termasuk rakus. Walaupun sudah kenyang, ia masih mencari makanan. Beda halnya dengan ular, misalnya. Ada jenis ular yang tidur selama beberapa bulan ketika ia sudah kenyang. Ada pula binatang buas yang jinak selama ia masih kenyang. Namun, tikus tidak ada puasnya. la terus makan walaupun sudah kenyang. Sebetulnya, ia tidak memerlukan makanan itu, namun ia terus makan. Itulah serakah, loba, tamak alias rakus.


Manusia punya kecenderungan seperti itu: rakus kekayaan, kedudukan, kekuasaan, jabatan, rakus ini dan rakus itu. Sudah punya, masih mau punya lagi. Sudah kaya, mau lebih kaya lagi. Sudah cukup, mau lebih dari cukup. Sekali ingin, keterusan ingin. Bagai seekor buaya, diberi jari ingin tangan, diberi tangan ingin seluruh badan.

Tuhan Yesus menilai sifat rakus sebagai kebodohan. Dalam Lukas 12 dicatat tentang seseorang yang bertikai dengan saudaranya mengenai harta warisan. Yesus berkata, "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu" (ay.15).

Lalu Yesus melanjutkan dengan sebuah cerita. Ada seorang kaya yang panennya berlimpah padahal gudangnya masih penuh. Ia tidak punya tempat lagi untuk menyimpan segala miliknya. Sebab itu, ia memperluas gudangnya dan membangun gudang baru. Katanya, "Aku akan menyimpan di dalamnya segala gandum dan barang-barangku. Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!" (Luk. 12:18, 19). Lalu Tuhan Yesus berkata, "Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? (ay. 20).

Mengapa Tuhan Yesus menyebut orang itu bodoh? Bukan karena ia membangun gudang tambahan dan bukan pula karena menyimpan kekayaannya, melainkan karena ia mengandalkan hari depannya pada kekayaan. Kekayaan dijadikan faktor jaminan. Kalau kaya, semua urusan terjamin beres. Sebab itu, ia ingin menjadi lebih kaya lagi, la menjadi serakah.

Yesus menyebut gaya hidup serakah itu bodoh sebab kekayaan bukan faktor andalan. Orang serakah justru akan terjerat oleh keserakahannya sendiri. Pengarang 1 Timotius menulis, "Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat... Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang" (6:8-10). Perhatikan kata "jerat" dalam ayat 9. Terjemahan itu tepat sebab kata pagida dalam Alkitab Yunani memang berarti 'perangkap' atau 'jerat'.

Seperti tikus yang terjerat tadi. Sebetulnya ia sudah kenyang dan tidak memerlukan lagi sepotong ikan asin kecil di ujung kawat itu. Akan tetapi, ia menggigit juga ikan itu. Ternyata ia berhasil. Kawat itu tidak bergoyang. Keadaannya aman. Maka, ia menggigit lagi. Situasi masih terus memungkinkan. Mumpung masih memungkinkan, ia menggigit lagi. Tetapi, tiba-tiba perkawat itu menjepret. Terjeratlah dia. Barulah ia sadar bahwa keserakahannya telah menjerat dia.

Setinggi-tingginya tingkat kehati-hatian tikus, akhirnya ia terjerat juga. Tamatlah sudah riwayatnya cuma gara-gara sepotong gigitan kecil. Tikus itu memang orang rakus. Lho, kenapa tikus disebut orang? Karena tikus itu seperti orang dan orang itu seperti tikus, yaitu sama sama rakus.

NEPOTISME

NEPOTISME

 

Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos yang berarti "keponakan' atau 'kemenakan'. Nepotisme adalah pemberian kedudukan, fasilitas, atau hak istimewa kepada orang yang mempunyai ikatan keluarga atau kerabat. Nepotisme bisa terjadi di pemerintah, perusahaan, gereja, sekolah, yayasan, atau lembaga lainnya. Kemungkinan nepotisme bisa juga terjadi pada orang-orang sekitar Tuhan Yesus. Dalam cerita Markus 10:35-45 kedua bersaudara Yakobus dan Yohanes mendekati Yesus dan meminta agar kelak mereka boleh duduk di sebelah kanan dan kiri Tuhan Yesus. Menurut versi penginjil Matius, permintaan itu bukan diajukan oleh kedua orang itu, melainkan oleh ibu mereka, yaitu Salome (Mat. 20:20-28; mungkin karena pengarang Injil mau melindungi nama baik kedua rekan rasul itu). Ada dugaan bahwa Salome masih berkerabat dengan Bunda Maria, namun paling tidak hubungan mereka akrab. Yang diminta oleh kedua bersaudara itu, atau oleh ibu mereka, adalah kedudukan istimewa melebihi para rasul yang lain. Namun, dengan tegas Yesus menolak permintaan itu.

Kecenderungan nepotisme juga tampak dalam cerita kunjungan ibu dan saudara-saudara Yesus. Menurut Matius 12:46-50, Bunda Maria dan beberapa adik Yesus berusaha menemui Yesus ketika la sedang mengajar di suatu rumah. Agaknya, rumah itu sudah dipadati pengunjung sehingga Bunda Maria dan adik-adik Yesus tidak dapat masuk. Lukas mencatat,"... tetapi mereka tidak dapat mencapai Dia karena orang banyak" (Luk. 8:19). Mereka "berdiri di luar dan berusaha menemui Dia" (Mat. 12:46). Apakah Bunda Maria dan adik-adik Yesus meminta agar orang-orang meminggir dan memberi tempat kepada mereka? Agaknya tidak. Mereka tidak meminta perlakuan istimewa Akan tetapi, rupanya hadirin merasa risi dan kikuk. Pikir mereka, masakan kita duduk dekat Yesus padahal ibu dan saudara-saudara-Nya sendiri berdiri di luar? Bukankah sepatutnya ibu dan saudara saudara-Nya mendapat tempat yang istimewa?

Maka, seseorang menginterupsi Yesus, "Lihatlah, ibu-Mu dan saudara-saudara-Mu ada di luar dan berusaha menemui Engkau" (ay. 47). Mungkin hadirin berharap bahwa Yesus akan berhenti sebentar, lalu meminta beberapa orang yang duduk di baris depan untuk memberi tempat kepada ibu dan saudara-saudara Yesus. Akan tetapi, ternyata Tuhan Yesus tidak berbuat begitu. Yesus malah bertanya secara retoris, "Siapa ibu-Ku? Dan siapa saudara-saudara-Ku?" (ay. 48). Lalu sambil menunjuk kepada hadirin, Yesus menegaskan, "Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Sebab siapa pun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku" (ay. 49-50).

Bayangkan bagaimana perasaan orang-orang yang hadir dalam ruangan itu. Mereka tidak menyangka bahwa Yesus akan berkata begitu. Mereka terkejut mendengar kata-kata yang begitu tegas. Mereka khawatir kalau-kalau ibu dan saudara-saudara Yesus menjadi tersinggung. Namun, mereka juga bangga bahwa mereka dianggap atau disamakan seperti ibu dan saudara-saudara kandung Yesus. Sikap Yesus di sini terasa sangat egaliter (= bersifat menyamaderajatkan). Sikap Yesus ini belum lazim di masyarakat feodal yang diskriminatif. Baru kemudian hari masyarakat modern mengenal sikap egalitarian, yaitu sikap tidak membedakan orang sehingga tiap orang mendapat hak yang sama. Egalitarianisme bertolak belakang dengan nepotisme.

Dari sikap Yesus yang egaliter ini tampak bahwa Yesus tidak terjebak dalam budaya nepotisme. Memang nepotisme sama sekali tidak egaliter. Nepotisme memberi hak istimewa pada orang tertentu bukan berdasarkan kualifikasi, melainkan berdasarkan ikatan famili. Secara sepintas nepotisme tampak menguntungkan pihak pemberi dan penerima perlakukan istimewa itu. Namun, sebetulnya tidak. Ambillah kasus seorang direktur yang memilih keponakannya sebagai karyawan. Karyawan itu belum tentu cakap karena ia terpilih bukan berdasarkan kriteria itu. Direktur itu rugi sebab ia mempunyai karyawan yang kurang cakap. Keponakan itu juga rugi sebab ia tidak bertambah pandai. la naik pangkat bukan karena prestasi, melainkan hanya karena keponakan bos. Rekan-rekannya pun tahu dan mencemoohkan dia.

Nepotisme memang selalu jadi bahan cemoohan. Coba bayang kan jika seandainya saya menjadi ketua sebuah yayasan. Sekretaris: ipar saya. Bendahara: paman saya. Direktur Pelaksana: menantu saya. Kepala Bagian Keuangan: sepupu saya (dia jujur lho). Kepala Bagian Pembelian: besan saya. Kepala Bagian Hukum: tetangga paman saya sejak dulu. Kepala Bagian Personalia: saudara kandung mertua saya (orangnya sabar). Kepala Bagian Logistik: adik lelaki terkecil nenek saya (memang sudah uzur dan pernah stroke, tetapi beliau harus terus diberi jabatan sebab dulunya pejuang). Kepala Bagian Pelatihan: bibi saya. Kepala Hubungan Masyarakat: saudara angkat ibu saya (orangnya murah senyum). Kepala Bagian Tender: saya sendiri (saya terpaksa merangkap jabatan, bukan karena ambisi, melainkan demi penghematan dan efisiensi). Kepala Proyek Khusus: kemenakan saya. Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan: cucu saya (dia sudah dewasa dan orangnya lihai). Dan seterusnya dan seterusnya. Mungkin ada yang bertanya kenapa istri dan anak-anak saya tidakikut?

Oh, tentu saja mereka ikut. Istri saya jadi pimpinan dewan penghimpun dan penyantun Dana Jaminan Sosial bagi yayasan ini Anak-anak saya juga semuanya ikut. Seperti diketahui semua putra dan putri saya jadi pengusaha (mereka semua berjiwa sosial lho). Karena yayasan ini banyak membangun rupa-rupa proyek, perlu ada pengusaha yang jadi pemborong. Tentu melalui tender. Nah, itulah putra-putri saya. Mereka ikut tender. Itu sebabnya saya merangkap Kepala Bagian Tender. Maksudnya supaya semua berjalan lancar, tertib, dan sesuai dengan prosedur. Harap Anda jangan mencemoohkan saya. Tender ini dijamin objektif. Anda 'kan tahu, saya ini anti nepotisme. Ya, sungguh, saya anti nepotisme.

KAPAKNYA MUNGKIN SUDAH TUMPUL

KAPAKNYA MUNGKIN SUDAH TUMPUL

 


Seorang tukang kayu sibuk menebang kayu dengan kapak. Dari pagi hingga sampai petang ia mengayunkan kapaknya. Temannya menegur, "Hai, tidak pernah aku melihat kau mengasah kapakmu. Kapakmu itu sudah tumpul. Mengapa kau tidak menajamkan kapakmu itu?" Tukang kayu itu berhenti sebentar. Tanpa menoleh ia menjawab, "Karena aku terlalu sibuk." Lalu ia mengayunkan lagi kapaknya dan mengayunkan lagi dan mengayunkan lagi.

Makin tajam sebuah kapak, makin ampuh faedahnya dan makin ringan serta cepat kerja tukang kayu. Sebab itu, tiap penebang kayu dari waktu ke waktu mengasah kapaknya. Sungguh bodoh tukang kayu yang begitu sibuk mengapak sehingga ia merasa tidak punya waktu untuk mengasah kapaknya. Bodoh? Mungkin kita juga bodoh, sebab tiap hari kita juga bersibuk diri sehingga tidak punya waktu untuk menajamkan diri. Apa itu menajamkan diri? Tiap hari kita sibuk berpraktik: sebagai ibu rumah tangga, pengusaha, karyawan, manajer atau lainnya sehingga kita tidak punya waktu untuk berteori dan berpraksis. Apa itu berteori dan berpraksis?

Kata praksis sering kali digunakan secara keliru. Ada yang berkata, "Dalam praksisnya...." padahal yang dimaksud adalah "Dalam praktik. nya". Praksis bukan berarti praktik. Praksis dalam bahasa Yunani berarti 'sebuah pelaksanaan yang dikerjakan sebagai hasil perenungan'. Praksis adalah pekerjaan yang tujuannya sudah dipertimbangkan membawa kebaikan bagi semua pihak. Praksis adalah praktik yang diterangi oleh refleksi dan sekaligus merupakan refleksi yang diterangi oleh praktik. Dalam praksis terpadulah teori dan praktik. Kata Yunani theoria mula-mula berarti 'menonton drama sambil mengamati dan merenungkannya. Kita berteori ketika kita mengambil jarak dari pe kerjaan lalu menyusun ulang sistematika pekerjaan kita.

Jadi, praksis adalah pekerjaan yang diilhami oleh perenungan dan perenungan yang ditindaklanjuti oleh pekerjaan. Pengertian hidup dan bekerja secara praksis dipopulerkan oleh pakar pendidikan Paolo Freire (1921-1997) dalam buku The Pedagogy of the Oppressed. Namun, sebenarnya pengertian itu telah ada dari zaman Romawi. Filsuf pendidikan Aristoteles (384-322 SM) menulis dalam The Nicomachean Ethics tentang tiga gaya hidup: hidup kontemplatif (merenung), hidup praksis (melakonkan hidup sebagai buah renungan) dan hidup produktif (mewujudkan buah itu dalam karya nyata).

Dalam hidup praksis, kita bukan hanya mengapak, melainkan juga mengasah, demikian pula bukan hanya mengasah, melainkan juga mengapak. Manusia yang utuh adalah manusia yang merenung dan bekerja. Artinya, yang merenungkan pekerjaannya dan menger jakan renungannya.

Itu sebabnya di tengah kesibukan perjalanan mengajar di pelbagai kota, Tuhan Yesus menyediakan waktu untuk menyendiri dan berdoa baik pagi, siang maupun malam. Di dalam Markus 1:35 tertulis, "Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, la bangun dan pergi ke luar. la pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana." Di Markus 6:46 tertulis bahwa setelah Yesus memberi makan lima ribu orang, "la berpisah dari mereka, la pergi ke bukit untuk berdoa." Di Lukas 6:12 tertulis, "Pada waktu itu pergilah Yesus ke bukit untuk berdoa dan semalam-malaman la berdoa kepada Allah.

Tuhan Yesus yang kapak-Nya sudah tajam, ternyata masih menyediakan waktu untuk mengasah kapak-Nya. Ia merenung. la berefleksi. la berkontemplasi. la bermeditasi. Hati-Nya dipasang untuk menerima bisikan pengertian. Seperti kata pemazmur, "Yang direnungkan hatiku ialah pengertian" (Mzm. 49:3 RSV, "the meditation of my heart shall be understanding"). Itulah praksis, kesibukan dan keheningan saling menjalin.

Gaya hidup praksis ini terasa di desa Taize, pegunungan Burgundy, Prancis. Para bruder Komunitas Taize sibuk bekerja dari pagi sampai malam. Mereka hidup dari pekerjaan tangan sendiri karena mereka tidak mau menerima pemberian, bahkan warisan orangtua pun tidak. Namun, kesibukan para bruder Taize itu terjalin dengan keheningan seperti sebuah ritme. Sebelum bekerja tiap pagi mereka bertelut dengan teduh. Tidak terdengar suara apa pun. Sekali-kali ada ayat Alkitab dibacakan dengan sayup-sayup. Pekerjaan sudah menunggu mereka di ladang, di klinik, di bengkel, di studio musik, di percetakan, di kantor, di dapur dan lainnya. Lalu dengan teduh para bruder itu meninggalkan ruang ibadah sambil bernyanyi:

Wait for the Lord, Whose day is near. Wait for the Lord, Keep watch, take heart.

Siang hari para bruder berkumpul lagi dan bertelut lagi. Lalu malam harinya setelah bekerja sepanjang hari mereka bersaat teduh lagi. Mereka bersenandung: In God alone my soul can find rest and peace, In God my peace and joy. Only in God my soul can find its rest, find its rest and peace. Di Taize bekerja menyatu dengan ibadah. Ribuan pemuda dari seluruh dunia yang ikut retret di situ merasakan kekuatan yang timbul dari keheningan. Di Taize orang bukan hanya mengapak, melainkan juga mengasah. Sebaliknya, mereka juga bukan hanya mengasah, melainkan juga mengapak.

Kita adalah orang sibuk. Begitu sibuk sehingga tidak sempat memikirkan apa sebabnya kita begitu sibuk. Apa sebenarnya tujuan kita dengan kesibukan ini? Dari mana dan mau ke mana perjalanan hidup ini? Mengapa kita sibuk? Untuk siapa sebetulnya kita sibuk? Betulkah kita perlu sesibuk ini? Apa yang mau kita raih? Masih adakah kekuatan kita? Apa sumber kekuatan kita? Kita mengayunkan kapak. Mungkin kapak kita sangat bagus. Tetapi sebagus-bagusnya sebuah kapak ia perlu diasah. Mana ada kapak yang tidak perlu diasah.

Kita sibuk. Kita terus mengayunkan kapak. Namun, sesibuk sibuknya mengapak, masakan kita tidak punya waktu untuk mengasah kapak itu? Mungkin kapak kita sudah tumpul. Mungkin sudah lama tumpul.

SUDAH DUDUK LUPA BERDIRI

SUDAH DUDUK LUPA BERDIRI

 


Sebuah kursi tidak semahal meja, lemari atau ranjang. Di mana-mana ada kursi. Di ruang tunggu dokter pasti ada kursi. Di apotek ada kursi. Di stasiun bis juga ada kursi. Akan tetapi, kursi bisa menjadi rebutan. Lembaran sejarah penuh dengan perang yang memperebutkan sebuah kursi. Sebuah bangsa pecah dan ribuan orang saling bunuh hanya karena ada dua orang yang memperebutkan sebuah kursi. Kursi ternyata bukan cuma tempat duduk, melainkan juga kedudukan. Rebutan kursi terjadi di mana-mana: di partai, di organisasi, di perusahaan, bahkan juga di gereja. Mengapa bisa terjadi rebutan kursi? Tentu ada pelbagai macam penyebabnya.

Mungkin karena ada dorongan dari kelompok. Sebuah kelompok boleh jadi merasa muak dengan pemimpin yang ada. Mungkin pemimpin itu sudah terlalu lama masa jabatannya. Mungkin dalam organisasi itu tidak ada mekanisme suksesi. Lalu mereka menjagokan seseorang untuk merebut kursi kepemimpinan. Mereka menganggap tokoh ini simbol dari aspirasi mereka. Boleh jadi tokoh ini didorong untuk merebut kursi guna melawan kemapanan dan membuat perubahan.

Faktor lain adalah watak. Ada orang yang memang mempunyai kebutuhan untuk menguasai orang lain. la merasa dari kecil selalu diatur orang lain, sebab itu ia suka mengatur orang lain. la cenderung memaksakan kemauannya pada orang lain. Ia mendapat kepuasan kalau ia mengendalikan orang lain. Orang yang berwatak begini biasanya berambisi menduduki kursi pemimpin.

Namun, penyebab utama yang mendorong orang untuk begitu gigih mendapat dan kemudian mempertahankan kursi pemimpin biasanya adalah faktor imbalan-imbalan yang ada di balik kursi itu. Kita ambil kasus jabatan ketua sinode. Ada gereja yang tidak mengenal jabatan ketua sinode penuh waktu. Ketua sinodenya adalah pendeta gereja setempat. Ia tidak diberi honorarium apa pun untuk tugasnya sebagai ketua sinode. Di sinode itu tidak pernah ada kericuhan tentang kursi ketua sinode. Pemilihan ketua sinode berlangsung tenang-tenang saja. Jarang tampak suasana ambisi. Bahkan sidang sering kali sulit mendapat calon. Soalnya jarang ada orang yang bersedia dicalonkan menjadi ketua sinode. Jarang pula ada ketua sinode yang melebihi satu masa jabatan.

Namun, keadaan menjadi lain ketika gereja itu mengubah jabatan ketua sinode menjadi penuh waktu. Gereja itu menetapkan beberapa ketentuan yang berlaku bagi ketua sinode: tempat tinggalnya di kota lokasi kantor sinode (itu berarti di kota besar, padahal pendeta-pendeta lain tinggal di desa), kendaraannya mobil bagus (padahal pendeta lain cuma naik sepeda motor), ada pula tunjangan jabatan, dan sebagainya. Selanjutnya, ketua sinode juga diberi wewenang untuk mengatur penempatan dan mutasi pendeta.

Setelah jabatan ketua sinode diubah seperti itu, mulailah timbul pergesekan kekuasaan. Ada orang-orang yang berambisi menjadi ketua sinode. pemilihan ketua sinode terjadi kasak-kusuk mencari dukungan. Setelah terpilih ketua sinode itu bersikap pamer kekuasaan. Ia ingin dipilih lagi untuk masa jabatan yang berikutnya (walaupun ia sering berucap, "Saya tidak mempunyai ambisi untuk jabatan ini"). Ketika kemudian ada orang lain yang juga ingin menduduki kursi ketua sinode, terjadilah pertikaian. Kedua orang itu masing-masing mencari pengikut. Lalu, kedua kelompok pengikut itu mulai bertengkar. Pekerjaan gereja, seperti pekabaran Injil, penggembalaan, pendidikan, menjadi terlantar karena para pendeta sibuk dengan urusan sebuah kursi.


Orang ingin kursi. Kalau sudah diperolehnya ia berusaha menduduki kursi itu selama mungkin. Semua ini disebabkan karena orang beranggapan bahwa kursi itu memberikan sejumlah keuntungan kepadanya. Inilah akar segala keributan di sekitar kursi. Kedudukan dan kekuasaan dijadikan kesempatan untuk menarik keuntungan bagi dirinya sendiri: uang, fasilitas, wewenang, pengaruh, koneksi, dan sebagainya. Kedudukan dipakai untuk menguntungkan diri sendiri. Kedudukan dipakai untuk melayani kepentingannya sendiri (walaupun ia sering berteriak dengan nyaring bahwa ia melayani Tuhan dan ke pentingan umum).

Sungguh berbeda dengan apa yang diperbuat oleh Yesus. Selama tiga tahun Yesus mempunyai kedudukan. Kedudukan itu bukan dipakai oleh Yesus untuk menguntungkan diri-Nya sendiri. Kedudukan itu tidak dipakai sebagai kesempatan untuk mencari uang, fasilitas, wewenang, atau koneksi apa pun, tetapi "untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Mrk. 10:45). Sebab itu, tidaklah menjadi soal apa kedudukan kita tinggi atau rendah yang soal adalah bagaimana dan untuk apa kita menggunakan kedudukan itu. Yesus telah memberi teladan. Kedudukan-Nya dipakai untuk membela kepentingan orang lain.

Ketika kemudian hari Rasul Paulus merenungkan kembali "masa jabatan" Yesus tersebut, ia mengomentari Yesus dengan kata-kata, "Walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya ..." (Flp. 2:6-7). Perhatikan dua kata yang bertolak belakang: "mempertahankan" dan "mengosongkan". Orang lain mempertahankan diri, padahal Yesus mengosongkan diri. Kata "mengosongkan diri" itu diuraikan oleh Paulus dengan "mengambil rupa seorang hamba ... merendahkan diri-Nya dan taat" (ay. 7 dan 8).

Agaknya, itu yang sulit kita pelajari dari Yesus. Sebab apa yang kita perbuat sungguh bertolak belakang dengan Yesus. Kalau kita sudah duduk di kursi kita bukan mengambil rupa seorang hamba, melainkan mengambil rupa seorang baginda. Kita bukan merendahkan diri, melainkan kita merendahkan dan menekan orang lain. Kita bukan taat, kita malah membentak supaya orang lain taat pada kita. Itulah yang terjadi kalau kita sudah dapat kursi. Kita jadi mabuk kursi. Kursi itu terasa begitu enak diduduki. Oh, empuk sekali. Begitu empuk sehingga sekali kita duduk, kita lupa berdiri.

MEREKNYA BAGUS

MEREKNYA BAGUS

 


Memang, semua merek bagus. Lihat saja merek produk atau nama perusahaan dan badan apa pun. Ada Hotel Nirwana, tetapi tidak ada Hotel Neraka. Toko lampu bernama Terang Benderang, bukan Gelap-gulita. Koran bernama Sinar Harapan, bukan Putus Harapan. Kita makan di restoran Sudi Mampir, bukan Enyah Bedebah. Di gereja ada paduan suara Nafiri Malaikat, bukan Nafiri Iblis. Ada Taman Kanak-kanak Si Mungil, mana ada Si Jahil. Banyak nama perumahan membubuhkan kata Elok, Indah, Permai, bukan Jelek, Banjir, Kotor. Merek berfungsi untuk meyakinkan konsumen. Untuk merek mobil dipilih nama binatang yang kuat dan berlari cepat seperti Kijang atau Panther, bukan Bekicot atau Penyu. Kapal terbang memakai nama burung yang anggun seperti Garuda atau Merpati, bukan Kalong atau Kampret yang terbangnya cuma berputar-putar dekat pohon jambu. Pokoknya semua merek barang bagus. Buku yang sedang Anda baca adalah Seri Selamat terbitan BPK Gunung Mulia, bukan Seri Celaka terbitan BPK Gunung Nista.

Merek atau nama yang bagus sama sekali tidak salah. Silakan pikir dan ciptakan merek yang bagus. Bukankah konsumen menyukai merek yang bagus? Mana ada ibu-ibu yang sengaja mencari bedak Cap Kulit Badak atau shampo Cap Kutu Busuk? Merek bagus bukan soal. Yang menjadi soal adalah kalau dari luar bungkus dan mereknya bagus, tetapi apa yang ada di dalamnya jelek. Pemangkas rambut itu bermerek Pangkas Rapih, tetapi pangkasannya sembrono. Penjahit itu bermerek Halus, tetapi jahitannya kasar. Maskapai penerbangan itu bermoto nyaman dan aman, tetapi ternyata keberangkatannya selalu tertunda dan bagasinya sering hilang. Bis itu bermerek Suka Maju, tetapi selalu mogok atau mandeg, Botol saus tomat itu bergambar tomat, padahal bahannya bukan tomat, melainkan ubi dan labu yang diberi zat pewarna dan zat rasa. Itu bohong. Yang lebih bohong adalah iklan yang mengatakan bahwa es krim bisa mencerdaskan otak. Atau bahwa obat kebugaran bisa membuat nyonya tampak dua puluh tahun lebih muda. Ah, yang bener aja.

Akan tetapi, yang lebih jadi soal adalah bila hidup dan diri kita tidak sesuai dengan merek yang kita pasang. Kita memasang sebutan hamba Tuhan, tetapi dalam praktiknya kita hamba uang sebab yang kita utamakan adalah rezeki, berkat, sukses, persembahan dan perpuluhan. Kita pasang merek pelayan gereja, tetapi kita bersikap sebagai tuan besar. Kita disebut gembala sidang, tetapi jarang menggembalakan domba-domba kita yang jompo dan jelata sebab kita sibuk tampil di kebangunan rohani di hotel-hotel berbintang atau seminar di luar negri. Kita disebut pengusaha yang berjiwa sosial, tetapi sebetulnya kekayaan kita itu diperoleh secara tidak jujur. Kita bermerek pemimpin yang arif dan bijaksana, tetapi di belakang layar kita menyalahgunakan kekuasaan kita. Kita menyebut diri Kristen, tetapi gaya hidup kita jauh berbeda dari gaya hidup Kristus yang sederhana, damai, dan mau berkorban.


Mereknya bagus, tetapi isinya buruk. Itulah kecaman Tuhan Yesus terhadap para pemimpin agama di dalam Matius 23. Yesus mengecam, "... kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran. Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan" (ay. 27, 28).

Jangan salah paham. Yesus tidak menentang ajaran para pemimpin agama. Yesus malah menganjurkan umat untuk menaati ajaran para pemimpin itu. Namun, Yesus menyuruh umat untuk tidak meniru perbuatan para pemimpin itu. Kepada umat Yesus menegaskan, "... turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepada mu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya" (Mat. 23:3).

Merek para pemimpin agama itu bagus, tetapi isinya berbeda. Perhatikan kecaman Yesus, "... persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan..." (ay. 23). "... cawan dan pinggang kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan... bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih" (ay. 25, 26).

Luarnya bersih, dalamnya kotor. Luarnya bagus, dalamnya jelek. Barangkali begitu juga hidup kita. Atau pekerjaan kita. Barangkali begitu juga rumah kita. Atau perusahaan, yayasan dan lembaga kita. Barangkali begitu juga gereja kita. Dari luar berkilau-kilau, dalamnya kacau-balau. Dari luar tampak berkembang, dalamnya banyak yang curang. Mereknya bagus. Memang semua merek juga bagus.

 

MENERUSKAN HARAPAN KERJA YESUS

MENERUSKAN HARAPAN KERJA YESUS

 


Orang itu mencangkul. Sebutir biji jagung dimasukkannya ke dalam tanah. Apa yang sedang diperbuatnya? la sedang menanam "sebutir pengharapan". Dalam benaknya ada pengharapan bahwa biji itu kelak bertumbuh dan menghasilkan jagung. la mencangkul dengan suatu motivasi besar: pengharapan. Akan tetapi, pengharapan bukan perkara sembarangan. Pertama, pengharapan harus mempunyai dasar. Dan sebuah dasar selalu berasal dari masa lampau: biji semacam itu ternyata bisa tumbuh dan menghasilkan jagung. Tanpa suatu dasar, pengharapan mudah berubah menjadi untung-untungan. Kedua, pengharapan harus disertai usaha nyata. Tanahnya digemburkan. Dipupuki. Diamankan dari gangguan binatang. Disiram. Dipelihara. Ketekunan. Kerja keras. Tanpa usaha nyata, pengharapan merosot menjadi lamunan.

Ketiga, pengharapan harus berpijak atas kewajaran. Kewajaran waktu: tak mungkin jagung itu sudah panen dalam satu bulan. Kewajaran hasil: tak mungkin satu tanaman jagung bisa memberi hasil sebanyak satu gerobak. Tanpa kewajaran, pengharapan cuma melahirkan kekecewaan. Kalau itu yang dituntut dari pengharapan akan sebutir jagung, apalagi pengharapan tentang manusia dan masa depan. Apakah pengharapan Kristen tentang manusia dan masa depan? Apa yang kita harapkan? Yang kita harapkan adalah datangnya Kerajaan Allah ke bumi ini. Apa yang dimaksud? Kerajaan Allah adalah keadaan di mana kedaulatan dan pemerintahan Allah ditaati oleh manusia. Jadi, yang kita harapkan adalah suatu keadaan baru di bumi di mana hubungan manusia dengan Allah dan dengan sesamanya menjadi hubungan damai yang sempurna (lih. Why. 21:1-4).

Apa yang menjadi dasar dari pengharapan itu? Dasarnya adalah kenyataan bahwa Kerajaan Allah sudah dimulai di dalam pekerjaan Yesus. la berkata, "Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu" (Mat. 12:28). Selama tiga tahun Yesus "menyampaikan kabar baik kepada orang-orang tawanan dan penglihatan bagi orang-orang buta, membebaskan orang-orang yang tertindas dan memberitakan datangnya tahun rahmat Allah" (Luk. 4:16-22).

Dengan pekerjaan Yesus itu, dimulailah suatu zaman baru di mana manusia melihat kehadiran Allah sebagai raja. Jadi pengharapan kita tentang Kerajaan Allah bukan timbul karena kita mencita-citakan sesuatu yang belum ada. Sebaliknya, pengharapan kita berdasarkan apa yang sudah ada, yakni zaman baru hasil pekerjaan Yesus. Pengharapan Kristen adalah merindukan perwujudan dari zaman baru yang telah dimulai oleh Yesus. Zaman itu berlangsung hingga ke masa kini dan akan berlangsung ke masa depan, di mana pengharapan itu akan menjadi kenyataan yang sempurna.

Akan tetapi, adakah dasar bagi kita untuk mengharapkan bahwa di masa depan Kerajaan Allah akan diwujudkan secara sempurna? Ya, karena di masa lampau sudah diperlihatkan bahwa Allah memimpin sejarah seperti menarik suatu garis ke depan. Hal itu disaksikan dalam Kisah Keluaran Umat Israel. Di situ Allah bukan digambarkan sebagai Allah yang bersemayam di suatu tempat yang tinggi, melainkan sebagai Allah yang berjalan bersama-sama dengan umat itu. Ia menuntun perjalanan umat itu dengan sebuah tiang awan. Bahkan la hadir dalam bentuk tiang awan (lihat Kel. 13:21-22).

Dengan begitu, la menjadi Allah yang berada di depan manusia la menjadi Allah yang menarik manusia untuk berjalan terus ke masa depan. la menjadi Allah yang turun tangan dalam urusan-urusan persediaan pangan (urusan ekonomi), perundangan-undangan dan perbudakan (urusan sosial), kebaktian dan hari-hari raya (urusan agama), perang dan pengangkatan pemimpin (urusan politik). Dengan turun tangannya Allah dalam urusan-urusan itu, la menunjukkan diri-Nya sebagai Allah atas segala bidang hidup manusia pada masa itu dan sebagai Allah yang mempersiapkan manusia untuk menghadapi masa depan. Dalam Kisah Keluaran itu, Allah mengajar umat-Nya untuk mempunyai pengharapan atas masa depan. Akan tetapi, pengharapan harus disertai usaha. Dalam kisah Keluaran hal itu pun tampak jelas. Umat itu harus berjalan melintasi gurun selama empat puluh tahun dengan bersusah payah.

Tiap pengharapan menuntut usaha. Demikian pula pengharapan kita akan datangnya Kerajaan Allah. Akan tetapi, justru itulah yang tidak mudah. Setiap hari Minggu kita berseru, "Datanglah Kerajaan-Mu." Namun, apakah usaha kita untuk menampakkan tanda-tanda situasi Kerajaan Allah di pelbagai bidang hidup sehari-hari? Atau tidak usah jauh-jauh, adakah di dalam gereja sendiri tampak tanda-tanda dan keadaan Kerajaan Allah? Jika kita mengharapkan datangnya keadaan Kerajaan Allah, itu berarti kita harus resah terhadap keadaan di mana terdapat praktik praktik yang adalah kebalikan dari keadaan Kerajaan Allah tersebut. Perasaan resah itu harus mendorong kita untuk lebih banyak berusaha.

Pengharapan harus berpijak atas kewajaran, baik kewajaran dalam hal waktu maupun hasil. Dalam pengharapan kita akan Kerajaan Allah, ukuran kewajaran itu bukan terletak di tangan kita, melainkan tergantung dari "kerelaan kehendak" Allah sendiri (Ef. 1:5). Sebab, bukankah Allah sendiri yang akan menyempurnakan perwujudan Kerajaan-Nya (lih. Why. 21). Kita disuruh oleh Yesus untuk meneruskan pekerjaan yang telah dimulai oleh-Nya sambil berpengharapan bahwa la akan menggenapkan pekerjaan-Nya itu secara sempurna.

Antara angan-angan dan pengharapan memang bisa terjadi kekaburan. Akan tetapi adanya dasar, usaha dan kewajaran, menjadikan pengharapan kita akan Kerajaan Allah bukan angan-angan, melainkan pengharapan. Berbahagialah orang yang mempunyai pengharapan dan yang bersedia membayar harga untuk membuat pengharapannya menjadi kenyataan
MUSIBAH, APA ITU TAKDIR ALLAH?

MUSIBAH, APA ITU TAKDIR ALLAH?

 

Pesawat terbang jatuh, semua penumpangnya diduga tewas. Lima orang buruh pertambangan terperangkap dalam tambang. Truk masuk sungai. Tabrakan beruntun di jalan tol, dua orang tewas, lima luka berat. Dua orang buruh bangunan terjepit tiang beton. Gerbong kereta api tergelincir keluar rel. Kapal motor dengan sepuluh nelayan hilang di samudra. Bis terguling, tujuh orang tewas, dua puluh cedera. Panen dirusak hama. Kebakaran hutan. Asap melanda. Bencana kekeringan. Tanah longsor. Kelaparan. Banjir. Mendengar segala musibah itu, kita menundukkan kepala. Mengapa bencana itu terjadi? Apa arti semua musibah ini? Sambil menarik napas panjang-panjang biasanya orang berkata, "Yah, dasar sudah takdir Allah. Kita cuma bisa berserah."

Apa yang sebenarnya dimaksudkan orang dengan ucapan itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, takdir berarti 'ketetapan Tuhan, dan menakdirkan berarti Tuhan menentukan lebih dahulu'. Jadi, dengan ungkapan "takdir Allah" itu orang menganggap bahwa segala sesuatu yang akan terjadi dalam hidup ini sudah ditentukan terlebih dahulu oleh Allah. Akan tetapi, apakah Alkitab berkata demikian? Benarkah bahwa celaka atau selamat, rezeki atau rugi, perang atau damai, miskin atau makmur, semua itu sudah lebih dulu ditetapkan oleh Allah? Benarkah bahwa Allah menyetel hidup manusia dengan cara demikian?

Kalau memang celaka atau selamat sudah ditetapkan lebih dulu, untuk apa kita berhati-hati ketika mengemudi mobil. Kalau memang ditakdirkan celaka, biarpun kita hati-hati, kita toh akan celaka. Sebaliknya, biarpun kita menyetir gila-gilaan, tetapi kalau ditakdirkan selamat, kita pasti akan selamat. Sebab itu, kita berserah saja kepada takdir Allah. Benarkah jalan pikiran seperti itu? Jika demikian halnya, maka manusia cuma ibarat wayang saja yang segala geraknya tergantung sang dalang. Bagaimanakah maksud Allah dengan manusia? Apakah supaya manusia pasrah dan pasif saja, menunggu dan menerima apa yang ditakdirkan Allah?

Bukan itu gambaran Alkitab tentang manusia. Di dalam cerita penciptaan yang terdapat dalam Kejadian 1-3 diperlihatkan bahwa Allah memberi kepada manusia kemungkinan untuk menentukan arah hidupnya. Allah menempatkan pohon-pohon yang boleh dimanfaatkan. Namun, la pun membuat batasan: ada pohon tertentu yang tidak boleh diganggu. Lalu Allah memberi kemungkinan kepada manusia untuk membuat pilihan: menghargai batasan itu atau melanggarnya. Yang penting adalah isi pilihan itu. Sebab, nilai manusia bukan terletak sekadar pada kebebasan dan kemampuan membuat keputusan, melainkan pada bagaimana ia membuat keputusan itu dan apa isi keputusannya.

Yang dijadikan tolok ukur isi keputusannya adalah apakah isi keputusannya itu mengungkapkan hormat dan ketaatan kepada Allah? Apakah isi keputusannya itu selaras dengan tugasnya untuk memelihara  kelangsungan hidup manusia dan menjunjung harkat martabatnya? Apakah isi keputusannya itu sejalan dengan tugasnya untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan segala bentuk kehidupan di bumi ini? Isi keputusan itu harus dapat dipertanggungjawabkan. Adam tidak bisa berkata, "Dasar sudah takdir Allah bahwa saya makan buah terlarang itu." la memakan buah itu bukan karena keputusan Allah melainkan karena keputusannya sendiri.

Jadi, manusia itu sendiri yang bertanggung jawab atas jalan hidupnya. Untung atau malang, selamat atau celaka, langkah kaki manusia jugalah yang menentukan. Itu bukan berarti bahwa Allah lepas tangan. Jelas bahwa Allah memerintah dan memimpin sejarah. Dengan kiasan, Tuhan Yesus berkata bahwa tidak ada seekor pun burung pipit yang jatuh di luar kehendak Allah dan bahwa tiap helai rambut manusia terhitung semuanya oleh Allah (lih. Mat. 5 dan 6). Akan tetapi, cara Allah memimpin sejarah bukanlah dengan menetapkan segala sesuatu terlebih dulu secara mutlak sehingga manusia tinggal terima jadi saja. Dalam cerita Sodom dan Gomora Allah membolehkan Abraham untuk turut menentukan nasib kedua kota itu. Dalam cerita itu diperlihatkan bahwa Allah sudah mengambil keputusan, tetapi Allah bersedia ditawar oleh Abraham. Allah mengajak manusia untuk turut serta menentukan arah sejarah. Allah memberi kesempatan kepada manusia untuk turut menentukan nasibnya sendiri.

Kebebasan yang diberikan Allah kepada manusuia memungkinkan manusia berpartisipasi dalam mengarahkan sejarah. Manusia mendapat kesempatan untuk menjadi kodeterminator nasib dan sejarahnya sendiri. Penentuan nasib dan sejarah manusia adalah ibarat lalu lintas dua arah. Di satu pihak Allah memelihara dan menuntun, namun di lain pihak manusia itu sendiri yang membuat langkah-langkah dalam perjalanan itu. Bagaimana halnya dengan musibah? Langkah manusiakah yang menentukan dan menyebabkannya? Memang ada musibah yang berada di luar kuasa manusia. Misalnya, gempa bumi atau letusan gunung berapi.

Namun, ada juga musibah yang sebenarnya disebabkan oleh kesalahan manusia sendiri. Tanah longsor dan banjir sering kali disebabkan karena manusia menggunduli hutan dan lereng gunung atau di hulu sungai. Musibah kecelakaan perjalanan pun banyak disebabkan karena kesalahan sikap dan perbuatan manusia.

Lalai, ceroboh, teledor, alpa, semau gue, masa bodoh, kurang hati-hati, cari gampangnya, semua itu adalah sikap yang menjadi akar dari rupa-rupa kecelakaan. Kalau sebuah bus masuk jurang, sebabnya bukanlah karena takdir Allah, melainkan karena kepala bengkel perusahaan bus itu kerjanya kurang beres sehingga rem bis blong. Kalau tukang las menjadi buta karena percikan bunga api, sebabnya bukanlah karena suratan takdir, melainkan karena ia lalai memakai kaca pelindung mata.

Sebab itu, ucapan, "Yah dasar takdir Allah" yang kita ucapkan sesudah suatu musibah tidak banyak membawa faedah. Ucapan itu terdengarnya sebagai suatu tanda beriman dan berserah. Tetapi sebenarnya ucapan itu cuma membiusi diri. Ucapan itu menyebabkan kita bukan berserah, melainkan menyerah. Kita menjadi pasif dan bertopang dagu sambil mengeluh "apa boleh buat". Dalam praktiknya, ucapan "dasar sudah takdir Allah" disalahgunakan untuk menutupi kemalasan manusia sendiri atau sebagai alasan untuk mengelak tanggung jawab.

Apa yang bisa kita tarik sebagai suatu refleksi teologis tentang manusia dari musibah ini? Refleksi yang dapat kita tarik bukanlah (sekali lagi: bukan) bahwa manusia lemah dan mudah ditelan musibah. Refleksi semacam itu tidak memberi sumbangsih apa-apa kepada masyarakat kecuali menjadikan orang berpikir sentimentil serta kerdil dan tetap berputar-putar di situ-situ juga. Sebaliknya, refleksi yang dapat kita tarik adalah bahwa manusia sebenarnya diberi kemampuan dan tanggung jawab untuk mengamankan kehidupan. Ke dalam tangan manusia, Allah telah memercayakan tugas mengelola kehidupan di bumi ini.

Selamat tidaknya suatu perjalanan ditentukan oleh tangan-tangan manusia. Tangan itu bisa jadi adalah tangan sopir atau tangan montir di bengkel, tangan pengatur sinyal atau tangan penjaga pintu kereta, tangan pilot atau tangan pemeriksa barang bawaan, tangan syah bandar yang mengeluarkan izin kapal itu berlayar atau tangan seorang penumpang dek yang memegang rokok sebab bukankah sebatang puntung rokok bisa membakar habis sebuah kapal?

Tangan manusia jugalah yang bisa menjadi penyebab rupa-rupa bencana banjir dan longsor. Entah itu tangan peladang yang mengambil kayu bakar atau tangan seorang menteri yang menandatangani kontrak hak pengusahaan hutan. Manusia diberi otak dan tangan untuk menentukan hidupnya Kita diberi kemampuan untuk mengambil langkah-langkah pengamanan hidup manusia. Kemampuan itu bisa kita gunakan, tetapi bisa juga terjadi bahwa kemampuan itu tidak kita gunakan atau kita salah gunakan. Oleh karena itu, kalau terjadi musibah, jangan cepat-cepat berkata bahwa itu takdir Allah sebab bisa jadi sebetulnya kita jugalah yang bikin ulah.

 

MANAJEMEN YESUS

MANAJEMEN YESUS

Kalau manajemen kita pahami sebagai proses mengupayakan agar tugas-tugas terlaksana secara baik dengan mendayagunakan sumber daya manusia untuk berperan secara efektif, maka Yesus bisa disebut manajer yang ulung. Hampir semua prinsip manajemen personalia yang sekarang dipelajari para manajer modern sudah diterapkan oleh Tuhan Yesus.

Pertama, prinsip seleksi. Memilih orang yang tepat untuk tugas yang tepat merupakan langkah pertama. Untuk itu dibutuhkan persiapan. Itu sebabnya sebelum mengawali pekerjaan-Nya, Yesus menyepi terlebih dahulu (lih. Mrk. 1:12-13). Yesus seakan-akan merumuskan visi apa yang mau dicapai, bagaimana melaksanakannya, di mana dan kapan, siapa orang-orang yang akan turut melakukannya, apa kualifikasi mereka, apa rincian tugas mereka, apa yang perlu mereka pelajari, bagaimana menyiapkan mereka menjadi penerus pekerjaan Yesus. Untuk merenungkan semua itu, Yesus sampai menyediakan waktu empat puluh hari.

Seusai hari-hari menyepi itu, Yesus pun mulai memilih orang-orang yang diperlukan-Nya. Seleksi ini bukan berlangsung sekaligus. Agaknya jumlah dua belas orang yang dipilih baru rampung seluruhnya setelah beberapa minggu, yaitu setelah kejadian-kejadian seperti pesta pernikahan di Kana, penyucian Bait Allah, dan penolakan di Nazaret. Itu berarti bahwa Yesus melakukan seleksi secara bertahap sambil memulai pekerjaan-Nya.

Kedua, prinsip asosiasi. Yesus mengajak kedua belas orang itu untuk tinggal, makan, beribadah, dan bekerja bersama-sama dengan Dia. Ke mana-mana la pergi bersama mereka. Apa yang dimakan para murid, itulah juga yang dimakan oleh Yesus. la tidak membuat tangga seperti atasan dan bawahan. Ia mengasosiasikan diri dengan mereka.

Ketiga, prinsip edukasi. Setiap kegiatan, seperti kunjungan, khotbah, penyembuhan, pengusiran setan, debat dengan para ahli Taurat dan Farisi dimanfaatkan Yesus sebagai teachable moments atau kesempatan untuk mendidik dan mengajar kedua belas orang itu. Seluruh masa kerja Tuhan Yesus yang sekitar tiga tahun itu dijadikan waktu untuk membina, melatih, dan membekali dua belas orang itu.

Keempat, prinsip delegasi. Yesus tidak memegang wewenang seorang diri. Ia memberi kesempatan kepada kedua belas orang itu untuk ambil bagian. Ia mengutus mereka untuk pergi dalam tim kecil yang terdiri atas dua orang. Perhatikan bahwa la mendelegasikan wewenang, "la memberi mereka kuasa ..." (Mrk. 6:6b). Sebelum itu, Yesus mempersiapkan mereka untuk mengantisipasi kesulitan dan hambatan (lih. Mrk. 6:6b-13). Agaknya, para murid itu berpencar selama beberapa minggu.

Mendelegasikan tugas dan wewenang bukan berarti berpangku tangan. Selama para murid pergi, Yesus bekerja penuh seperti biasa. Matius mencatat: "Setelah Yesus selesai berpesan kepada kedua belas murid-Nya, pergilah la dari sana untuk mengajar dan memberitakan Injil..." (11:1). Mendelegasikan juga bukan berarti cuci tangan. Setelah kedua belas orang itu kembali, Yesus menyimak apa yang telah mereka kerjakan dan ajarkan (Mrk. 6:30). Setelah itu, Yesus mengajak mereka menyepi dan memberi kesempatan kepada mereka untuk beristirahat (ay. 31).

Kelima, prinsip supervisi. Yesus mencermati hidup dan kerja kedua belas orang itu. Ia mencari tahu, "Apa yang kamu perbincangkan tadi di tengah jalan?" (lih. Mrk. 9:33-37). la memuji seorang murid yang menjawab dengan jitu, "Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu..." (Mat. 16:17-19). Namun, orang yang sama itu juga ditegur karena sikapnya keliru, Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku..." (lihat Mat. 16:21-28). Selanjutnya dalam rangka supervisi Yesus juga mendampingi, menggembalakan, dan menguatkan (lih. Yoh. 19:19-29 dan 21:15-19). Yesus pun mendoakan mereka seperti dicatat di Yohanes 17.

Keenam, prinsip suksesi dan regenerasi. Berkali-kali Yesus memberitahukan bahwa la akan ditangkap, disiksa, mati, bangkit kembali, dan naik ke surga. Dengan itu Yesus menyiapkan para murid untuk jadi penerus pekerjaan Yesus. Ketika tiba saat serah-terima, maka Yesus menyerahkan tugas-tugas dan menjanjikan penyertaan atau dukungan-Nya (lih. Mat. 28:18-20).

Bagaimanakah penilaian akhir manajemen personalia Yesus ini? Pada suatu pihak bisa dikatakan sangat berhasil. Dua belas orang dari latar belakang watak, pendidikan, pekerjaan, dan pandangan politik yang berbeda (ada yang bekerja untuk pemerintah Romawi, ada yang justru menjadi anggota kelompok ekstrem anti pemerintah Romawi) bisa bertumbuh menjadi satu tim kerja. Dalam waktu hanya sekitar tiga tahun mereka yang semula orang biasa (beberapa orang semula nelayan) berkembang menjadi pemimpin yang tangguh. Memang mereka tidak luput dari rasa bimbang dan takut, namun mereka ternyata mampu menjadi perintis lahirnya Gereja Abad Pertama. Mereka mampu mengatasi hambatan dari pihak pemerintah Romawi dan pihak masyarakat agama Yahudi. Proses pembinaan oleh Yesus selama tiga tahun itu ternyata menghasilkan insan-insan yang karyanya masih tampak sampai sekarang, yaitu gereja.

Namun, pada lain pihak, manajemen personalia Yesus mencatat angka drop out yang cukup berarti. Satu dari dua belas orang, atau 8,3% ternyata gagal. Akan tetapi, di manakah ada pendidikan atau pembinaan yang sama sekali luput dari drop out? Walaupun seleksi dilakukan sangat teliti dan pendidikan sangat efektif, drop out tetap bisa terjadi. Keberhasilan proses didik-mendidik bukan hanya tergan tungpada pendidik, melainkan juga pada naradidik. Itulah "faktor Yudas".

Timbul pertanyaan: Apakah Tuhan Yesus sudah memperhitungkan hal itu? Apakah Yesus sudah tahu sejak awal bahwa ada seseorang yang akan drop out? Mengapa orang itu dipilih? Apakah Yesus sengaja memilih Yudas sebagai bagian dari jalan penderitaan-Nya? Apa ini merupakan strategi manajemen Yesus? Semoga tidak ada "pendeta manajer" atau "manajer pendeta yang merasa punya jawab atas pertanyaan itu. Sebab, kalau dia mempunyai jawab, dia lebih ulung daripada Tuhan Yesus.