MEREKNYA BAGUS

MEREKNYA BAGUS

 


Memang, semua merek bagus. Lihat saja merek produk atau nama perusahaan dan badan apa pun. Ada Hotel Nirwana, tetapi tidak ada Hotel Neraka. Toko lampu bernama Terang Benderang, bukan Gelap-gulita. Koran bernama Sinar Harapan, bukan Putus Harapan. Kita makan di restoran Sudi Mampir, bukan Enyah Bedebah. Di gereja ada paduan suara Nafiri Malaikat, bukan Nafiri Iblis. Ada Taman Kanak-kanak Si Mungil, mana ada Si Jahil. Banyak nama perumahan membubuhkan kata Elok, Indah, Permai, bukan Jelek, Banjir, Kotor. Merek berfungsi untuk meyakinkan konsumen. Untuk merek mobil dipilih nama binatang yang kuat dan berlari cepat seperti Kijang atau Panther, bukan Bekicot atau Penyu. Kapal terbang memakai nama burung yang anggun seperti Garuda atau Merpati, bukan Kalong atau Kampret yang terbangnya cuma berputar-putar dekat pohon jambu. Pokoknya semua merek barang bagus. Buku yang sedang Anda baca adalah Seri Selamat terbitan BPK Gunung Mulia, bukan Seri Celaka terbitan BPK Gunung Nista.

Merek atau nama yang bagus sama sekali tidak salah. Silakan pikir dan ciptakan merek yang bagus. Bukankah konsumen menyukai merek yang bagus? Mana ada ibu-ibu yang sengaja mencari bedak Cap Kulit Badak atau shampo Cap Kutu Busuk? Merek bagus bukan soal. Yang menjadi soal adalah kalau dari luar bungkus dan mereknya bagus, tetapi apa yang ada di dalamnya jelek. Pemangkas rambut itu bermerek Pangkas Rapih, tetapi pangkasannya sembrono. Penjahit itu bermerek Halus, tetapi jahitannya kasar. Maskapai penerbangan itu bermoto nyaman dan aman, tetapi ternyata keberangkatannya selalu tertunda dan bagasinya sering hilang. Bis itu bermerek Suka Maju, tetapi selalu mogok atau mandeg, Botol saus tomat itu bergambar tomat, padahal bahannya bukan tomat, melainkan ubi dan labu yang diberi zat pewarna dan zat rasa. Itu bohong. Yang lebih bohong adalah iklan yang mengatakan bahwa es krim bisa mencerdaskan otak. Atau bahwa obat kebugaran bisa membuat nyonya tampak dua puluh tahun lebih muda. Ah, yang bener aja.

Akan tetapi, yang lebih jadi soal adalah bila hidup dan diri kita tidak sesuai dengan merek yang kita pasang. Kita memasang sebutan hamba Tuhan, tetapi dalam praktiknya kita hamba uang sebab yang kita utamakan adalah rezeki, berkat, sukses, persembahan dan perpuluhan. Kita pasang merek pelayan gereja, tetapi kita bersikap sebagai tuan besar. Kita disebut gembala sidang, tetapi jarang menggembalakan domba-domba kita yang jompo dan jelata sebab kita sibuk tampil di kebangunan rohani di hotel-hotel berbintang atau seminar di luar negri. Kita disebut pengusaha yang berjiwa sosial, tetapi sebetulnya kekayaan kita itu diperoleh secara tidak jujur. Kita bermerek pemimpin yang arif dan bijaksana, tetapi di belakang layar kita menyalahgunakan kekuasaan kita. Kita menyebut diri Kristen, tetapi gaya hidup kita jauh berbeda dari gaya hidup Kristus yang sederhana, damai, dan mau berkorban.


Mereknya bagus, tetapi isinya buruk. Itulah kecaman Tuhan Yesus terhadap para pemimpin agama di dalam Matius 23. Yesus mengecam, "... kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran. Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan" (ay. 27, 28).

Jangan salah paham. Yesus tidak menentang ajaran para pemimpin agama. Yesus malah menganjurkan umat untuk menaati ajaran para pemimpin itu. Namun, Yesus menyuruh umat untuk tidak meniru perbuatan para pemimpin itu. Kepada umat Yesus menegaskan, "... turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepada mu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya" (Mat. 23:3).

Merek para pemimpin agama itu bagus, tetapi isinya berbeda. Perhatikan kecaman Yesus, "... persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan..." (ay. 23). "... cawan dan pinggang kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan... bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih" (ay. 25, 26).

Luarnya bersih, dalamnya kotor. Luarnya bagus, dalamnya jelek. Barangkali begitu juga hidup kita. Atau pekerjaan kita. Barangkali begitu juga rumah kita. Atau perusahaan, yayasan dan lembaga kita. Barangkali begitu juga gereja kita. Dari luar berkilau-kilau, dalamnya kacau-balau. Dari luar tampak berkembang, dalamnya banyak yang curang. Mereknya bagus. Memang semua merek juga bagus.

 

MANAJEMEN YESUS

MANAJEMEN YESUS

Kalau manajemen kita pahami sebagai proses mengupayakan agar tugas-tugas terlaksana secara baik dengan mendayagunakan sumber daya manusia untuk berperan secara efektif, maka Yesus bisa disebut manajer yang ulung. Hampir semua prinsip manajemen personalia yang sekarang dipelajari para manajer modern sudah diterapkan oleh Tuhan Yesus.

Pertama, prinsip seleksi. Memilih orang yang tepat untuk tugas yang tepat merupakan langkah pertama. Untuk itu dibutuhkan persiapan. Itu sebabnya sebelum mengawali pekerjaan-Nya, Yesus menyepi terlebih dahulu (lih. Mrk. 1:12-13). Yesus seakan-akan merumuskan visi apa yang mau dicapai, bagaimana melaksanakannya, di mana dan kapan, siapa orang-orang yang akan turut melakukannya, apa kualifikasi mereka, apa rincian tugas mereka, apa yang perlu mereka pelajari, bagaimana menyiapkan mereka menjadi penerus pekerjaan Yesus. Untuk merenungkan semua itu, Yesus sampai menyediakan waktu empat puluh hari.

Seusai hari-hari menyepi itu, Yesus pun mulai memilih orang-orang yang diperlukan-Nya. Seleksi ini bukan berlangsung sekaligus. Agaknya jumlah dua belas orang yang dipilih baru rampung seluruhnya setelah beberapa minggu, yaitu setelah kejadian-kejadian seperti pesta pernikahan di Kana, penyucian Bait Allah, dan penolakan di Nazaret. Itu berarti bahwa Yesus melakukan seleksi secara bertahap sambil memulai pekerjaan-Nya.

Kedua, prinsip asosiasi. Yesus mengajak kedua belas orang itu untuk tinggal, makan, beribadah, dan bekerja bersama-sama dengan Dia. Ke mana-mana la pergi bersama mereka. Apa yang dimakan para murid, itulah juga yang dimakan oleh Yesus. la tidak membuat tangga seperti atasan dan bawahan. Ia mengasosiasikan diri dengan mereka.

Ketiga, prinsip edukasi. Setiap kegiatan, seperti kunjungan, khotbah, penyembuhan, pengusiran setan, debat dengan para ahli Taurat dan Farisi dimanfaatkan Yesus sebagai teachable moments atau kesempatan untuk mendidik dan mengajar kedua belas orang itu. Seluruh masa kerja Tuhan Yesus yang sekitar tiga tahun itu dijadikan waktu untuk membina, melatih, dan membekali dua belas orang itu.

Keempat, prinsip delegasi. Yesus tidak memegang wewenang seorang diri. Ia memberi kesempatan kepada kedua belas orang itu untuk ambil bagian. Ia mengutus mereka untuk pergi dalam tim kecil yang terdiri atas dua orang. Perhatikan bahwa la mendelegasikan wewenang, "la memberi mereka kuasa ..." (Mrk. 6:6b). Sebelum itu, Yesus mempersiapkan mereka untuk mengantisipasi kesulitan dan hambatan (lih. Mrk. 6:6b-13). Agaknya, para murid itu berpencar selama beberapa minggu.

Mendelegasikan tugas dan wewenang bukan berarti berpangku tangan. Selama para murid pergi, Yesus bekerja penuh seperti biasa. Matius mencatat: "Setelah Yesus selesai berpesan kepada kedua belas murid-Nya, pergilah la dari sana untuk mengajar dan memberitakan Injil..." (11:1). Mendelegasikan juga bukan berarti cuci tangan. Setelah kedua belas orang itu kembali, Yesus menyimak apa yang telah mereka kerjakan dan ajarkan (Mrk. 6:30). Setelah itu, Yesus mengajak mereka menyepi dan memberi kesempatan kepada mereka untuk beristirahat (ay. 31).

Kelima, prinsip supervisi. Yesus mencermati hidup dan kerja kedua belas orang itu. Ia mencari tahu, "Apa yang kamu perbincangkan tadi di tengah jalan?" (lih. Mrk. 9:33-37). la memuji seorang murid yang menjawab dengan jitu, "Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu..." (Mat. 16:17-19). Namun, orang yang sama itu juga ditegur karena sikapnya keliru, Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku..." (lihat Mat. 16:21-28). Selanjutnya dalam rangka supervisi Yesus juga mendampingi, menggembalakan, dan menguatkan (lih. Yoh. 19:19-29 dan 21:15-19). Yesus pun mendoakan mereka seperti dicatat di Yohanes 17.

Keenam, prinsip suksesi dan regenerasi. Berkali-kali Yesus memberitahukan bahwa la akan ditangkap, disiksa, mati, bangkit kembali, dan naik ke surga. Dengan itu Yesus menyiapkan para murid untuk jadi penerus pekerjaan Yesus. Ketika tiba saat serah-terima, maka Yesus menyerahkan tugas-tugas dan menjanjikan penyertaan atau dukungan-Nya (lih. Mat. 28:18-20).

Bagaimanakah penilaian akhir manajemen personalia Yesus ini? Pada suatu pihak bisa dikatakan sangat berhasil. Dua belas orang dari latar belakang watak, pendidikan, pekerjaan, dan pandangan politik yang berbeda (ada yang bekerja untuk pemerintah Romawi, ada yang justru menjadi anggota kelompok ekstrem anti pemerintah Romawi) bisa bertumbuh menjadi satu tim kerja. Dalam waktu hanya sekitar tiga tahun mereka yang semula orang biasa (beberapa orang semula nelayan) berkembang menjadi pemimpin yang tangguh. Memang mereka tidak luput dari rasa bimbang dan takut, namun mereka ternyata mampu menjadi perintis lahirnya Gereja Abad Pertama. Mereka mampu mengatasi hambatan dari pihak pemerintah Romawi dan pihak masyarakat agama Yahudi. Proses pembinaan oleh Yesus selama tiga tahun itu ternyata menghasilkan insan-insan yang karyanya masih tampak sampai sekarang, yaitu gereja.

Namun, pada lain pihak, manajemen personalia Yesus mencatat angka drop out yang cukup berarti. Satu dari dua belas orang, atau 8,3% ternyata gagal. Akan tetapi, di manakah ada pendidikan atau pembinaan yang sama sekali luput dari drop out? Walaupun seleksi dilakukan sangat teliti dan pendidikan sangat efektif, drop out tetap bisa terjadi. Keberhasilan proses didik-mendidik bukan hanya tergan tungpada pendidik, melainkan juga pada naradidik. Itulah "faktor Yudas".

Timbul pertanyaan: Apakah Tuhan Yesus sudah memperhitungkan hal itu? Apakah Yesus sudah tahu sejak awal bahwa ada seseorang yang akan drop out? Mengapa orang itu dipilih? Apakah Yesus sengaja memilih Yudas sebagai bagian dari jalan penderitaan-Nya? Apa ini merupakan strategi manajemen Yesus? Semoga tidak ada "pendeta manajer" atau "manajer pendeta yang merasa punya jawab atas pertanyaan itu. Sebab, kalau dia mempunyai jawab, dia lebih ulung daripada Tuhan Yesus.
SEPERTI MEMILIH JODOH

SEPERTI MEMILIH JODOH

 


Pacar Anda berkata dengan serius, "Aku hanya mau kawin dengan kamu. Kalau kamu tidak mau kawin dengan aku, lebih baik aku mati!" Bagaimana reaksi Anda? Apa dia pacar yang sejati? Bukan! Dia pacar yang bodoh sekali. Dia bodoh, bukan karena dia mencintai Anda. Oh, bukan. Dalam hal itu mungkin dia pinter. Namun, dia bodoh dalam cara berpikir.

Cobalah kita berpikir jernih. Kita mencintai seseorang, tetapi siapa yang bisa menjamin bahwa orang itu juga mencintai kita? Kita membuat pilihan cinta, itu berarti kita mempunyai kebebasan. Kalau kita mempunyai kebebasan untuk menentukan, bukankah orang itu juga perlu diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri.

Sebab itu, sikap "aku cuma mau kawin dengan kamu" Atau "kalau aku tidak kawin dengan kamu, aku tidak akan kawin seumur hidup" merupakan semacam campur tangan kepada pihak lain dalam menen tukan pilihan. Kenapa kita ingin menikah dengan seseorang? Karena kita tertarik pada dia. Kita menyukai dia. Sorotan matanya. Senyumannya. Aduh, cakep banget.

Itu tanda kita sedang jatuh cinta. Namanya juga jatuh, terjadinya mendadak tanpa dipikir dulu dan berlangsungnya hanya untuk sementara waktu. Sesudah jatuh, kita berdiri lagi. Apa yang terjadi kalau kita terbangun dari jatuh cinta? Pikiran dan perasaan kita akan berubah. Ternyata ada orang lain yang sorotan mata dan senyumnya juga menarik. Ternyata ada orang lain yang kita juga sukai.

Sebab itu, kita tidak bisa pasang patok harga mati "aku cuma mau kawin dengan kamu". Kita perlu memberi kebebasan kepada diri kita sendiri. Biarkanlah diri kita memilih dari sejumlah calon. Jangan berpikir dengan pola calon tunggal. Di sini tampak faedahnya pergaulan yang luas dan terbuka. Di lain pihak, kita juga perlu memberi kebebasan memilih kepada pacar kita.

Memilih jodoh merupakan pergumulan pelik. Setiap orang pada masa mudanya bergumul dengan tiga pilihan penting: pegangan hidup (untuk apa aku hidup?), pekerjaan hidup (mau jadi apa aku dalam hidup ini?) dan teman hidup (dengan siapa nanti aku hidup?). Memilih jurusan studi dan jenis pekerjaan merupakan bagian dari pergumulan pelik tersebut. Dalam hal ini juga terdapat bahaya bahwa kita "jatuh cinta", yaitu tidak berpikir jernih dan tidak memberi kebebasan kepada diri sendiri untuk membuat pilihan. Dalam menentukan jurusan studi dan pekerjaan janganlah kita terpaku pada satu kemungkinan saja. Orang yang terpaku pada satu pilihan tertentu sebenarnya sedang menutup mata terhadap kemungkinan-kemungkinan lain. Kita sendiri yang rugi apabila kita tidak mau memakai kesempatan untuk mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan lain.

Hal lain yang terjadi dalam memilih jodoh adalah menganalisis diri kita dan diri "si dia". Apakah faktor-faktor kelemahan dan kekuatan yang ada pada kita? Idem yang ada pada diri "si dia". Dalam hal-hal apa akan terjadi kecocokan dan dalam hal-hal apa akan terjadi ketidak cocokan? Apa risikonya? Apakah aku bersedia memikul risiko itu? Analisis seperti itu juga perlu dilakukan sebelum kita memilih pekerjaan. Tiap pekerjaan ada suka dukanya. Sudahkah kita pertimbangkan faktor duka itu. Kalau kita tidak mau menanggung risiko dan duka itu, lebih baik sejak sekarang kita berganti haluan daripada meneruskan arah, namun kemudian hari kecewa.

Kalau pihak kita boleh berganti haluan, tentunya pihak sana juga boleh. Semula pihak sana sudah menjanjikan lowongan, namun kemudian lowongan itu diberikan kepada pihak lain. Dalam hal jodoh, perubahan haluan ini tentu lebih menyakitkan hati. Semula dia mencintai kita, tetapi sekarang ternyata dia mencintai orang lain. Ini menyayat hati. Akan tetapi, cobalah melihat hikmahnya. Bukankah ini lebih baik terjadi sekarang daripada nanti? Apa jadinya kalau pernikahan sudah terjadi, tetapi kemudian dia berubah haluan dan mencintai orang lain? Memilih pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat kita ada lah pelik seperti memilih jodoh. Hal itu pelik karena ada banyak faktor yang perlu diperhitungkan dan sebagian dari faktor itu berada di tangan pihak lain.

Seperti memilih jodoh, demikian juga memilih bidang kerja yang tepat merupakan bagian dari perjalanan hidup. Yang tampak dalam sebuah perjalanan hanyalah apa yang bisa kita lihat dekat di depan kita. Kita tidak bisa melihat apa yang ada jauh di depan kita. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Karena itu, tiap perjalanan mengandung perasaan kurang pasti. Kemudian rasa kurang pasti itu bisa berwujud dalam bentuk pelbagai variasi sikap dan perilaku. Ada yang jadi resah ada pula yang jadi serakah. Ada yang jadi pasif ada pula yang menjadi agresif.

Gereja bercikal bakal dari Abraham yang disuruh menempuh perjalanan. Abraham juga diliputi rasa kurang pasti. Perasaan kurang pasti itu terwujud dalam pelbagai sikap dan perilaku seperti dicatat dalam kejadian 12-24. Namun, pada suatu malam di tengah ketidakpastian itu Abraham kagum melihat keindahan langit yang ditaburi bintang. Abraham memahami bintang-bintang itu sebagai simbol penyertaan Tuhan dalam perjalanan ini. Inilah yang dicatat, "Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran" (Kej. 15:6). Percaya dan memercayakan diri kepada Tuhan bisa menjadi salah satu sikap dan perilaku kita dalam perjalanan panjang mencari pegangan hidup, pekerjaan hidup, dan teman hidup. Mungkin Anda berpikir kenapa mencari pekerjaan dibicarakan secara berbelit begini? Yang penting bisa kerja. Kerja apa saja tidak soal. Pikiran Anda benar. Mendapat lowongan kerja saja sudah bagus.

Daripada menganggur atau di-PHK, kerja apa saja boleh. Benar, namun kalau dalam perjalanan ini sejak dini kita bisa mengembangkan minat dan bakat lalu melakukan jenis pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat itu, bukankah dengan demikian aktualisasi diri kita menjadi lebih optimal? Mungkin Anda masih berpikir, mengapa memilih pekerjaan di sejajarkan dengan memilih jodoh? Bukankah kedua hal itu banyak bedanya? Memang banyak berbeda. Untuk urusan kerja kita bisa berpedoman "pokoknya aku kerja, kerja apa saja aku mau"; padahal untuk urusan jodoh kita tidak berpedoman "pokoknya aku kawin, kawin dengan siapa saja aku mau".

Mengapa begitu berbeda? Sebab, hidup kita bukan dinilai dengan urusan jodoh. Yesus tidak punya jodoh. Yesus tidak cari pacar. Yesus sama sekali tidak menikah. Akan tetapi, la bekerja. la berkarya. Dan itulah yang menjadikan hidup-Nya begitu berharga.

KAMULAH TANGAN-KU

KAMULAH TANGAN-KU

 


Kabayan sedang menggali lubang. Tetangganya heran dan bertanya.

T: Kabayan, untuk apa gali lubang? K: Untuk tanam pisang. T: Untuk apa tanam pisang? K: Untuk dimakan. T: Untuk apa makan pisang? K: Untuk dapat tenaga. T: Untuk apa dapat tenaga? K: Untuk gali lubang ...

Untuk apa kita bekerja? Apa kita bekerja untuk makan? Ataukah kita makan untuk bekerja? Semua orang bekerja. Menanggung lelah. Menahan jengkel. Memeras pikiran. Mengucurkan keringat. Menghabiskan tenaga. Membanting tulang dari pagi sampai petang.

Bayangkanlah seorang paramedis di bagian gawat darurat yang sepanjang hari berdiri menunduk menjahit robekan tubuh korban yang mengerang kesakitan karena ususnya terburai keluar dari perut yang berlumuran darah. Atau, bayangkan seorang masinis kereta api yang pukul tiga pagi sudah menyalakan tungku batu bara lokomotif, Atau, manajer bank yang sampai larut malam menghadapi setumpuk hitungan. Atau, ibu rumah tangga yang pekerjaannya tidak pernah ada habisnya. Untuk apa mereka bekerja? Untuk apa kita bekerja? Kita bekerja untuk mendapat nafkah. Akan tetapi, sesempit itukah tujuan kerja? Masakan hidup ini hanya bertujuan untuk mencari nafkah?

Kita adalah makhluk yang lebih dari sekadar punya mulut dan perut. Kita mempunyai martabat diri dan hati nurani. Diri itu tidak akan terwujud kalau kita cuma goyang-goyang kaki. Karena itu, kita bekerja. Dengan bekerja diri kita diaktualkan. Dengan bekerja diri kita jadi berarti dan memberi arti.

Punya arti dan memberi arti bisa dilakukan tiap orang, betapapun "kecil" pekerjaannya. Pekerjaan yang tampak kecil mempunyai dampak besar. Yang diperbuat seorang penjaga pintu perlintasan kereta api bukan sekadar menjaga sebuah pintu kereta, melainkan menjaga puluhan nyawa manusia. Yang diperbuat seorang ibu bukan sekadar menyiapkan nasi, melainkan menyiapkan masa depan putra dan putri.

Setiap orang perlu bekerja. Sebab itu, yang pertama-tama diberikan Tuhan kepada Adam bukanlah istri, melainkan pekerjaan (lih. Kej. 2:15). Sebab itu pula Paulus menulis, "Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan" (2Tes. 3:10). Kita bekerja, bahkan untuk itu kita disuruh oleh Amsal 6:6 untuk belajar dari semut, yaitu belajar bekerja dengan rajin dan tekun, tidak banyak bicara dan tidak egois. Di pihak lain kita juga disuruh beristirahat, sebab Tuhan sendiri juga beristirahat (lih. Kej. 2:2-3). Kerja adalah ibarat senar gitar. Terlalu kencang dia putus, terlalu kendor dia tidak bunyi.

Kita bekerja karena Tuhan bekerja. Tiap pagi Tuhan membangunkan surya. Tiap petang la menidurkan senja. la meniup awan. la meneteskan hujan, la menghidupkan indung telur. la mengembuskan napas jabang bayi. Ia mengajar anak ikan berenang. la sibuk terbang kian kemari sebagai burung merpati.

Kita bekerja karena diajak bekerja bersama-sama Tuhan. Kita adalah "kawan sekerja Allah" (1 Kor. 3:9). Ketika kita bekerja Tuhan bekerja dekat kita. Sekali-kali la menoleh kepada kita. la tahu bahwa kita lelah. la juga letih. Ia mengangguk kagum melihat ketekunan kita. Kata filsuf Rabindrat Tagore, "Tuhan menghargai aku ketika aku bernyanyi, la menghormati aku ketika aku bekerja."

Pekerjaan kita masih banyak dan panjang. Hasilnya belum tampak. Benarkah belum tampak? Sebetulnya, sudah tampak dalam visi dan impian. Selangkah demi selangkah sambil terbungkuk Michelangelo menyeret sebuah batu besar dengan tali di pundak. Orang yang melihat itu bertanya, "Mau apa kamu susah-susah dengan batu macam begitu?" Michelangelo, pemahat besar dari abad ke-16 itu, menjawab, Karena di dalamnya ada malaikat."

Kristus bekerja untuk kita, dan kita bekerja untuk Dia. Seperti kata Paulus, "Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan..." (Kol. 3:23). Dalam Perang Dunia I sebuah gereja di Munster rusak kena bom. Patung Kristus di situ juga rusak. Kedua lengan patung itu putus. Tinggallah patung Kristus itu berdiri di situ tanpa tangan. Kemudian di bawah patung itu orang memasang tulisan, "Aku tidak punya tangan selain kamu. Kamulah tangan-Ku."

Kita bekerja karena hidup ini mempunyai arti. Kita bekerja supaya hidup ini memberi arti. Hidup ini cuma sekali. Sekali berarti sesudah itu mati. Soalnya, apakah hidup kita sekarang ini sudah mempunyai arti dan sudah memberi arti?

Selama tenaga masih ada. Selama waktu masih tersedia. Kata Yesus, "Selama masih siang..." (Yoh. 9:4). Kita bekerja. Kata Yesus pula, "Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga" (Yoh. 5:17), Itu sebabnya kita bekerja. Selamat bekerja. Selamat berkarya. Segala sumber kerja kita berasal dari Kristus. Semoga segala hasil kerja kita berkenan bagi Kristus. Seperti doa kita di dalam Kidung Jemaat 322:4: Tenaga dan kuat,                                          kerja yang kubuat kepunyaan-Nya. Dengan rendah hati hendak kuhormati.                                         Yang Mahaesa.

AWAM DAN PENDETA

AWAM DAN PENDETA

 


Setiap kali terjadi peneguhan jabatan dalam gereja, entah itu jabatan guru Sekolah Minggu atau penyanyi paduan suara, kita patut bertanya apa sebetulnya arti jabatan gerejawi dan bagaimana nisbah jabatan yang satu dengan yang lain.

Tentunya pertanyaan itu sudah mulai dipikirkan ketika gereja baru terbentuk pada abad ke-1. Akan tetapi, tidak banyak catatan yang kita punyai dari zaman itu. Catatan yang kini kita punyai berasal dari zaman Reformasi Gereja pada abad ke-16.

Ketika itu Martin Luther di Erfurt menggumuli nisbah antara jabatan rohaniwan (selanjutnya pendeta) dan jabatan warga gereja (selanjutnya: awam). Ia mempertanyakan keabsahan susunan tingkat antara pendeta dan awam yang berakibat bahwa pendeta mempunyai wewenang keimaman.

Menurut Luther, keadaan itu tidak sejiwa dengan gereja abad ke-1 yang menulis, "Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat Allah sendiri, supaya kamu..." (1Ptr. 2.9, TB2), Terjemahan BIMK, "Tetapi kalian adalah bangsa yang terpilih, imam imam yang melayani raja, bangsa yang kudus, khusus untuk Allah, umat Allah sendiri. Allah memilih kalian..."

Mengomentari ayat itu Luther menulis, "Kita semua adalah imam imam yang ditahbis melalui baptisan." Di buku lain ia juga menulis, "Tidak ada perbedaan mendasar antara orang awam dan pendeta, pangeran dan uskup, pekerjaan religius dan pekerjaan sekuler, kecuali untuk pelaksanaan tugas, tetapi tidak untuk status."

Sekitar dua puluh tahun kemudian di Jenewa, Johanes Calvin menggarisbawahi pergumulan Luther itu. Calvin juga mengacu pada jabatan imam yang diberikan kepada tiap orang percaya sebagaimana ditulis di 1 Petrus 2:9.

Tulis Calvin, "Jabatan imam adalah milik Kristus sendiri... kita ti dak mempunyai akses kepada Allah kecuali jika Kristus sebagai Imam Besar... memberikan kepada kita anugerah itu ..."

Jadi, meskipun menggunakan ayat yang sama dengan Luther namun menurut Calvin dasar teologis keimaman orang awam bukanlah atas dasar baptisan seperti diyakini Luther, melainkan atas dasar anugerah.

Supaya tidak menimbulkan salah paham, Calvin menegaskan bahwa jabatan imam yang adalah milik Kristus itu dikomunikasikan bukan kepada kita sebagai individu, melainkan kepada kita sebagai persekutuan orang percaya. Tulis Calvin, "Semua orang percaya, termasuk yang berprofesi sekuler pun adalah hamba Allah dan imam yang melayani Allah serta melayani orang lain. Yang disebut hamba Tuhan bukanlah hanya mereka yang bertugas gerejawi, melainkan juga yang bertugas duniawi. Panggilan Tuhan bukan hanya berlaku bagi jabatan pendeta, melainkan bagi segala mata pencarian."

Argumen Luther dan Calvin tentang jabatan imam yang berlaku secara umum itu terkesan meyakinkan untuk dilaksanakan. Akan tetapi, pelaksanaannya ternyata tidak mudah. Yang dikutip tadi hanya dua penggalan tulisan Luther dan dua penggalan tulisan Calvin. Padahal baik Luther maupun Calvin banyak menulis tentang imamat umum ini.

Apakah Luther dan Calvin konsisten tentang imamat umum ini dalam tiap tulisannya? Tidak! Tidak ada pemikir yang selalu konsisten dengan pemikirannya selama beberapa dasawarsa. Ada banyak tan tangan baru yang menuntut pemikir itu berpikir ulang. Luther menghadapi sejumlah tantangan, antara lain sekelompok pengikutnya yang menafsirkan ajaran imamat umum itu secara radikal. Misalnya, dalam peristiwa Pemberontakan Petani pada tahun 1522-1525 di Wittenberg di bawah pimpinan teolog terkemuka Andreas Karlstadt yang menuntut penghapusan jabatan pendeta.

Apakah kini, lima ratus tahun setelah Reformasi Gereja, nisbah awam dan pendeta sudah kembali ke jiwa Gereja Perdana? Belum! Memang tema kemitraan awam dan pendeta sering diperdengarkan, misalnya dalam ibadah peneguhan atau persidangan gerejawi, namun sering itu hanya sebatas wacana.

Bagaimana halnya di kalangan Dewan Gereja se-Dunia (DGD)? Buku Awam dan Pendeta - Mitra Membina Gereja karangan Andar Ismail terbitan BPK Gunung Mulia menelusuri pemikiran DGD antara tahun 1948 sampai 1983, dan menyimpulkan temuan adanya sejumlah kemajuan, namun sekaligus sejumlah kemunduran.

Kini lima ratus tahun setelah Reformasi Gereja, malah dalam hal hal tertentu justru Gereja Katolik lebih reformatoris ketimbang Gereja Reformasi. Ambillah contoh di bidang liturgi dan pakaian liturgis. Pernah saya mengikuti misa di Katedral Utrecht dengan pengkhotbah yang mengenakan T-shirt bertulisan: Kijk Omhoog, yang sangat menopang tema ibadah, yang liturginya bersih dari jargon-jargon Latin atau Yunani. Sebaliknya, di Indonesia malah ada pendeta gereja berpaham reformasi, termasuk Gereja Pentakosta dan Kharismatik, namun gemar mengenakan jubah, stola, krusifiks, dan collar. Seandainya Luther dan Calvin kini bangkit kembali dan menghadiri ibadah kita, mungkin mereka akan bingung alias liyeur.

ALLAHMU BENTENG YANG TEGUH

ALLAHMU BENTENG YANG TEGUH

Lagu ciptaan Martin Luther ini berbicara tentang sebuah benteng. Lebih tepat lagi, tentang Allah sebagai sebuah benteng. Benteng macam apakah yang dimaksud? Mengapa Allah diibaratkan sebagai sebuah benteng? Kita lihat dulu bait pertamanya di KJ 250:

Allahmu benteng yang teguh, perisai dan senjata; betapapun sengsaramu, pertolongan-Nya nyata! Si jahat yang geram berniat, 'kan menang; ngeri kuasanya dan tipu dayanya di bumi tak bertara.

Mungkin kita jarang melihat benteng, bahkan mungkin belum pernah. Mungkin yang tergambar di benak kita adalah tumpukan karung pasir tempat tentara berlindung. Atau, barangkali tembok beton tebal dengan meriam di belakangnya. Atau, barangkali tangsi militer.

Bukan itu yang dimaksud dalam lagu ini. Yang dimaksud oleh Luther adalah sebuah burg. Kalimat pertama lagu ini menurut kata kata Luther berbunyi, "Ein feste Burg ist unser Gott". Apa itu burg?

Sebuah burg adalah rumah sangat besar milik keluarga ningrat, bangsawan, atau keraton di Eropa. Jumlah kamar tidur dan ruang annya bisa puluhan bahkan ratusan. Ruang makannya saja ada banyak. Demikian pula ada ruang buku, ruang musik, dan banyak ruang pertemuan. Juga, ada ruang ibadah yang nilai arsitekturnya tak kalah indah dari sebuah katedral. Rumah besar itu tentu pula menampung puluhan pegawai, mulai dari para juru masak, pembantu, petugas kebersihan, pemelihara kandang kuda, tukang kebun, dan banyak lainnya. Sekian hektar tanah dan hutan di sekitar burg itu juga milik keluarga ningrat itu. Tinggi burg biasanya tiga atau empat lantai.

Dalam kamus kita burg diterjemahkan menjadi 'puri', 'kastil', atau 'istana berbenteng'.

Fungsi pertama sebuah puri adalah rumah tempat tinggal. Fungsi lainnya adalah tempat berlindung dari serangan musuh atau serbuan perampok. Oleh sebab itu, sebuah puri mempunyai sistem pertahanan dan perlindungan. Di atapnya terdapat beberapa menara pengintai dan tembok para pemanah. Biasanya sebuah puri dikelilingi oleh parit buatan selebar dua puluh meter dengan air yang dalam dan pagar di bawah air untuk mencegah para penyusup. Jembatannya bisa diangkat dan diturunkan.

Di Eropa Barat terdapat ribuan puri. Ada yang dibangun pada abad ke-9, seiring dengan timbulnya kelas ningrat yang menguasai rakyat. Tiap puri diberi nama, misalnya Hohensalzburg, Drachenburg, Neuschwanteinburg, dan lainnya. Oleh karena biaya pemeliharaannya yang mahal, sekarang kebanyakan puri dijadikan hotel, museum, sanatorium, atau panti wreda.

Itulah benteng yang dimaksud oleh Luther dalam lagu ini. Allah adalah benteng yang teguh. Luther mengajak kita berlindung di da lam benteng itu. Allah adalah "perisai dan senjata ... pertolongan-Nya nyata". Berlindung dari apa? Berlindung dari serbuan siapa? Berlindung dari "Si jahat yang geram... ngeri kuasanya dan tipu dayanya".

Bagaimana kita bisa yakin bahwa benteng ini ampuh dan teguh? Siapa yang menjamin bahwa kita akan terlindung secara aman? Luther menjawabnya di bait ke-2. "Pahlawan kita Dialah yang diurapi Allah. Siapa nama-Nya? Sang Kristus Mulia ...!

Perhatikan ragam kalimat tanya retorik itu. Tanya: Siapa nama pahlawan yang melindungi kita. Jawab: Sang Kristus. Ragam interogatif seperti itu banyak digunakan dalam pedagogi Sokrates (469-399 SM). Pendekatan itu pun dipakai oleh Luther dalam menulis Katekismus Besar dan Katekismus Kecil dan kemudian juga dalam Katekismus Heidelberg tulisan murid-murid Calvin (ketiga Katekismus itu pun diterbitkan BPK Gunung Mulia).

Kita berlindung di benteng yang bernama Allah dan pelindung kita adalah Kristus. Itulah tema pengakuan Luther dalam lagu ini.

Kata-kata Luther dalam lagu ini keluar dari pengalaman hidupnya. Selama sembilan bulan Luther pernah berlindung di sebuah benteng, yaitu di Puri Wartburg oleh karena Kaisar Karel V pada bulan Mei 1521 memvonis bahwa Luther boleh dibunuh oleh siapa saja (lih. "Luther Tertantang" di Selamat Membarui).

Demikian pula kata-kata dalam bait ke-3. Bunyinya, "Penuh pun setan dunia, yang mau menumpas kita. Jangan gentar melihatnya, iman tak sia-sia!" Kata-kata itu pun keluar dari pengalaman hidup Luther ketika umatnya melarang dia memenuhi panggilan pengadilan di Worms pada bulan April 1521 karena di Worms ada banyak orang yang mau membunuh Luther. Luther menguatkan umatnya, "Meski pun Worms penuh setan sebanyak genteng di atap yang mau menumpas aku, aku tidak gentar!"

Karya tulis yang baik adalah silang sumber antara pengalaman hidup dan literatur, dalam hal ini Alkitab. Begitu juga pengalaman hidup Luther dalam lirik lagu ini bersilang dengan Mazmur 46. Tertulis, "Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti ... kita tidak akan takut.. sekalipun gunung-gunung goyang... Diamlah dan ketahuilah bahwa Akulah Allah... kota benteng kita ialah Allah Yakub."

Benteng yang dimaksud dalam Mazmur tentu berbeda dengan benteng dalam benak Luther. Benteng dalam Mazmur adalah tembok setinggi 60 meter setebal 5 meter di sekeliling kota. Benteng itu bukan rumah tinggal, melainkan tembok yang melindungi rumah-rumah di dalam kota. Namun, fungsinya sama, yaitu melindungi dari kejahatan.

Itulah pengakuan Luther. Ia mengajak kita menyanyi sambil mengaku bahwa Allah adalah penolong dan pelindung dari kejahatan
CALVIN: ANAK PIATU JADI PEMBARU GEREJA

CALVIN: ANAK PIATU JADI PEMBARU GEREJA

 


Baru saja ia berumur tiga tahun, ibunya meninggal dunia. la pilu, dan kepiluan itu membekas pada dirinya seumur hidup. Pentingnya peran ibu tersirat dalam buku-buku teologinya. Anak piatu itu adalah Jean Chauvin atau Johanes Calvin (1509-1564). Hampir semua gereja Protestan di Indonesia, seperti GPIB, GKJ, GKP, GKI, GRII, GMIM, GMIT, dan lainnya adalah gereja Calvinis.

Sepeninggal ibunya, Calvin dititip pada sebuah keluarga ningrat. Ayahnya mengenal beberapa keluarga ningrat karena ia adalah penata usaha uskup. Asuhan yang diterima dalam keluarga ningrat ini mewarnai kepribadian Calvin seterusnya. la sangat mengutamakan perilaku sopan, prestasi unggul, dan perbuatan mulia, namun di lain pihak, ia kaku dalam pergaulan, menjaga jarak, dan menjauh dari khalayak ramai. Lagi pula ia memang berwatak pemurung dan cen derung bermuka masam.

Calvin disekolahkan oleh keluarga ningrat itu di sekolah yang paling bermutu di kota Noyon. Calvin selalu menjadi murid yang paling berprestasi. Tugas yang dikerjakan oleh murid lain dalam waktu satu jam diselesaikan Calvin dalam sepuluh menit. Ia tidak suka berbicara. Akan tetapi, jika ditanya ia selalu terbuka, "Aku anak piatu. Kakekku seorang tukang gentong kayu, ayahku pekerja tambang yang kini jadi juru tulis."

Pada usia 12 tahun Calvin pindah ke Paris dan bersekolah serta berasrama di College de la Marche dan College de la Montaigu yang didirikan oleh Geert Groote (1340-1384) filsuf Pendidikan Agama Kristen di Belanda (lih. "Masa Muda Martin Luther" di Selamat Membarui). Di sini Calvin berkenalan dengan humanisme, yaitu aliran yang mengutamakan bahasa-bahasa kuno Ibrani, Yunani, dan Latin untuk mempelajari susastra kuno (termasuk Alkitab!) dengan tujuan meningkatkan kemanusiaan yang beradab.

Menyelesaikan studi sampai tingkat magister di Montaigu itu, Calvin pada usia 18 tahun masuk sekolah hukum di Orleans dan Bourges. Dengan cepat ia menyusul kakak-kakak kelasnya, lalu pada usia 20 tahun ia mencapai gelar doktor hukum.

Minatnya pada susastra kuno membuat Calvin kembali ke Paris dan mempelajari buku-buku teologi dari abad permulaan. Calvin tidak pernah duduk di sekolah teologi, namun dari tangannya lahirlah buku-buku teologi yang berbobot.

Sementara itu, buku-buku tulisan para reformator gereja dari Jerman secara sembunyi-sembunyi beredar di kalangan cendekiawan Paris. Gerakan reformasi belum terbuka di Prancis, sebab Raja Francois I membenci gerakan reformasi. Calvin menyaksikan seorang biarawan dibakar hidup-hidup akibat bersimpati pada "bidat Luther".

Calvin bergumul dalam menentukan arah keyakinannya. Ia dididik oleh ibunya untuk mencintai gereja, namun ia melihat banyak praktik buruk para rohaniwan. Ia tahu betul bahwa gerakan reformasi sesuai dengan Perjanjian Baru yang dipelajarinya, namun ia tidak ingin meninggalkan Gereja Katolik yang dicintainya sebagai ibunya sendiri. Tulisnya, "... hatiku tidak bisa tenteram... ajaran baru itu membawa kami kembali ke sumbernya yang asli dan mengembalikan ajaran Alkitab yang murni... namun, di lain pihak, aku benci pada hal-hal yang baru itu... akan tetapi, akhirnya Allah menunjukkan hatiku pada kepatuhan,"

 Bagi Calvin pertobatan bukanlah prestasi atau jasa manusia, melainkan pemberian atau karunia dari Allah. Ia mengacu ke ucapan Kristus, "Tidak ada seorang pun dapat datang kepada-Ku, kalau Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya" (Yoh. 6:65).

 Begitulah ketika Luther sudah lebih dari 15 tahun menjalankan reformasinya, Calvin secara bertahap mulai menampakkan jiwa reformasi gereja dalam buku-bukunya.

 Ketika Calvin membantu menyusun pidato rektor Universitas Paris yang mengecam keburukan gereja, Raja Francois I berang. Nyawa Calvin terancam. la melarikan diri ke Basel dan sepanjang umurnya ia tidak bisa kembali ke tanah airnya.

 Di Basel Calvin menulis buku-buku reformasi. Secara bertahap, ia menulis buku-buku tipis. Kelak buku-buku ini terkumpul menjadi empat jilid setebal lebih dari 2.000 halaman yang berjudul Institutio, yang merupakan buku dogmatik Protestan yang banyak diacu. Beberapa bagian terpilih dari buku itu diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia.

Menarik bahwa kalimat pertama buku itu berbunyi, "Dipersem bahkan kepada Raja Francois I... Pelindung Gereja Kristen". Akan tetapi, sang pelindung ini memerintahkan agar semua buku ini disita dan dibakar.

CALVIN: BERUBAH ARAH DI LOSMEN MURAH

CALVIN: BERUBAH ARAH DI LOSMEN MURAH

 


Untuk memperkenalkan tulisan-tulisannya tentang reformasi gereja, Yohanes Calvin pergi ke Ferrara, di Italia Utara, la menginap di istana Putri Renee yang suka membagi-bagi buku gerakan reformasi, padahal putri ini adalah adik Raja Francois I yang mau membunuh Calvin.

Dalam perjalanan pulang ke Basel, Calvin menginap satu malam di sebuah losmen murah di Jenewa. Pemilik losmen tidak bisa percaya bahwa tamu berpakaian sederhana itu adalah Jean Chauvin, penulis buku-buku terkenal. Bangga losmennya diinapi orang termasyhur, ia langsung menceritakan kabar ini kepada semua tetangganya.

Kabar ini pun tiba di telinga Guillame Farel, pendeta setempat yang berusia 20 tahun lebih tua daripada Calvin. Malam itu juga Farel datang ke losmen dan meminta Calvin untuk menjadi pendeta di Jenewa. Tentu saja Calvin menolak sebab ia punya tugas di Basel untuk menyebarluaskan konsep reformasi di kalangan akademik.

Mendengar penolakan ini Farel berteriak, "Tuan Chauvin, Allah akan mengutuk Tuan jika Tuan menolak tugas ini!"

Calvin terkejut bukan kepalang. Belum pernah ia mengalami ancaman seperti itu. la lama berpikir. Reformasi gereja di tingkat akademik yang selama ini ia kerjakan memang penting, namun Reformasi gereja di tingkat gereja lokal juga penting. Akhirnya, ia menerima tugas ini.

Tumpukan tugas langsung dikerjakan oleh Calvin. Setiap hari ia menjelaskan isi Alkitab pasal demi pasal kepada kelompok anak, pemuda, dan dewasa. la menertibkan tata ibadah. Orang yang terlambat datang ke ibadah, apalagi absen, harus bayar denda sekian franc. Di gereja tidak boleh ada orgel, lilin, dan salib. Pendeta dilarang pakai jubah. Orang yang suka berjudi, mabuk, berdansa, dan nonton sandiwara ditegur atau dikucilkan. la menetapkan bahwa sehari-hari gereja diurus oleh dewan yang terdiri atas empat jabatan, yaitu pendeta, pengajar, penatua, dan syamas. la menetapkan persyaratan ketat bagi orang yang minta dibaptis, ikut perjamuan kudus, dan menikah. Ia menetapkan hukuman bagi mereka yang melecehkan orang tuanya.

Ketetapan Calvin disambut pro dan kontra. Ketika golongan kontra. menguasai pemerintah kota, Calvin diusir dari Jenewa. la menjadi pendeta di Strasbourg. Empat tahun kemudian konstelasi politik di Jenewa berubah lagi sehingga Calvin diminta kembali ke Jenewa. Begitulah untuk masa 23 tahun selanjutnya Calvin menjadi pendeta gereja Jenewa sampai akhir hidupnya.

Umat gereja mendorong Calvin untuk menikah, namun ia selalu menjawab, "Aku tidak punya waktu. Kalau toh menikah, ada syaratnya, janganlah pekerjaanku jadi terganggu." Akhirnya, ia menikah dengan Idelette de Bure. Mereka mempunyai tiga orang anak, namun dalam usia balita anak-anaknya itu meninggal.

Calvin, istri, dan ketiga anak itu memang berbadan lemah. Makanan mereka sehari-hari kurang memadai. Gaji yang diterima Calvin membuat keluarga ini serba kekurangan. Honor penulisan buku dipakai untuk penyebarluasan buku.

Baru sembilan tahun menikah Calvin kehilangan istri. Tulis Calvin, "la adalah teman hidup, teman menderita, dan teman melarat."

 Calvin meneruskan reformasinya. la mendirikan Academie de Geneve untuk mendidik calon pendeta. Jenjang awal untuk belajar bahasa-bahasa selama tiga tahun dan jenjang berikut untuk belajar teologi, kedokteran, atau hukum selama lima tahun. Pelajaran dimulai pukul 6.00 pagi. Sepuluh menit di muka, guru dan murid sudah ada di kelas bersaat teduh sambil membaca buku renungan. Tepat pukul 6.00 pagi pintu gerbang kampus ditutup. Tulis Calvin, "Tidak bisa jadi pendeta kalau tidak disiplin jadi kutu buku."

Calvin sendiri adalah kutu buku. Ia hafal semua buku Luther la memang mengagumi Luther yang 16 tahun lebih tua. Pernah ia Calin Jalan Hi menulis surat kepada Luther, "Aku menyukai semua buku Tuan. Alangkah inginnya aku bertemu dan belajar kenal dengan Tuan."

Sering Calvin mengenang ibunya dengan pilu. la merasa begitu rindu untuk berada dengan ibunya. Ketika Calvin menulis betapa perlunya kita menyatu dengan gereja, ia mengibaratkan gereja sebagai seorang ibu.

Tulis Calvin, "... the Church, into whose bosom God is pleased to gather His children, ... that they may be nourished by her help... that they may be guided by her motherly care... For what God has joined together, it is not lawful to put asunder (Mark 10:9), so that, for those to whom God is Father, the Church may also be mother" (Inst. IV.i.1).

Artinya, "... Gereja, di dadanya Allah mantap meletakkan anak anak-Nya... supaya mereka disusuinya dengan bantuannya... supaya mereka dituntun dengan asuhan keibuannya... karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mrk. 10:9). sehingga, untuk mereka yang Allah adalah Bapa, Gereja juga adalah ibu" (Inst. IV.i.1).

Calvin tahu betul bahwa ayat tadi berkonteks perceraian suami istri, namun ia sengaja menekankan bahwa hubungan kita dengan gereja janganlah sampai tercerai sebagaimana juga hubungan dengan ibu kita.

Tiada terbanding hubungan kita dengan ibu yang telah mengandung, menyusui, dan mengasuh kita. Tiap kali Calvin terbaring lemah karena kesehatannya yang kurang terawat, ia selalu pilu mengenang ibunya. Calvin meninggal saat usianya belum lagi mencapai 55 tahun.

GEREJA BUTUH KONTEKS

GEREJA BUTUH KONTEKS

 

Di rumah ada tiga pot tanaman: kaktus, anggrek, dan teratai Ketiga tanaman itu berakar dan bertumbuh dalam potnya masing-masing. Pot itu pasti ada isinya. Mustahil tanaman bisa hidup dalam pot yang isinya hanya udara alias kosong. Apa isi pot itu? Ada yang menyebutnya hara, media, atau lahan tanaman. Untuk mudahnya kita sebut saja tanah.

Apa tanah ketiga pot tadi sama? Tidak. Ketiga jenis tanaman itu butuh tanah yang berbeda-beda. Kaktus tumbuh dalam pot berisi pasir kering. Anggrek tumbuh dalam pot berisi potongan-potongan batang pakis lembab. Teratai tumbuh dalam pot berisi lumpur becek.

 Jangan coba-coba menukar tanahnya. Kaktus akan busuk jika ditanam di lumpur. Sebaliknya, teratai akan layu jika ditanam di pasit. Tiap tanaman perlu konteksnya masing-masing.

Sebagaimana tanaman hidup dan berakar di sebuah konteks, gereja pun hidup dan berakar di sebuah konteks. Gereja hidup di antara orang-orang di sekitarnya dan di zamannya. Sebutlah itu masyarakat. Nah, itulah konteks gereja, yaitu orang di sekitarnya dan di zamannya.

Pernah ada suatu komunitas umat Allah berjumlah sekitar delapan nbu orang dari Israel tinggal di Babel (sekarang Iran, Irak, Suriah) pada abad ke-6 SM. Mereka enggan bergaul dengan penduduk setempat karena perbedaan bahasa, budaya, dan agama. Mereka eksklusif.

Lalu Nabi Yeremia menyurati mereka, "Dirikanlah rumah untuk kamu diami; buatlah kebun untuk kamu nikmati hasilnya; ambillah isteri untuk memperanakkan anak ..." (Yer. 29:5-6).

Itu pesan agar umat keluar dari pagar buatannya sendiri dan berbaur dengan masyarakat sekitar. Umat disuruh berakar dan bertumbuh di konteksnya, yaitu masyarakat kota Babel. Lanjut surat itu, "Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu

Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu" (ay. 7).

Umat dipesan agar berbuah dan menjadi berkat bagi penduduk sekitar. Simak verba imperatif usahakanlah (lbr. darasy: 'lakukanlah dengan sengaja', 'lakukanlah sampai berhasil').

Perhatikan motif atau dasarnya, yaitu "sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu". Artinya, nasib kita dan nasib masyarakat sekitar saling bergantung. Panen masyarakat berhasil, kita bisa makan. Panen masyarakat gagal, kita lapar.

Pada zaman itu agama masih bersifat etnosentris, artinya bangsa Xhanya boleh beragama X dan hanya peduli pada bangsa serta agama sendiri. Akan tetapi, surat Nabi Yeremia itu membarui pola pikir dengan menyuruh komunitas umat Allah agar "mengusahakan kesejahteraan" untuk konteks di sekitar mereka. Ini sebuah kontekstualisasi.

Lalu, apa artinya kontekstualisasi gereja atau kontekstualisasi teologi? Kontekstualisasi gereja adalah upaya kita memahami diri kita dan diri masyarakat sekitar dalam keadaannya yang riil dan konkret. Apa artinya keadaan riil dan konkret? Artinya, bukan keadaan yang diidamkan, melainkan keadaan yang adalah kenyataan, dengan segala baik dan buruknya. Lalu apa faedah upaya kontekstualisasi ini? Supaya pewartaan gereja juga riil dan konkret, bukan tentang cara hidup nanti sesudah kematian, melainkan tentang cara hidup sekarang ini sebelum kematian.

Dari penjelasan itu tampak bahwa gereja perlu berkonteks supaya bisa bertumbuh dan berbuah bagi masyarakat sekitar. Gerrit Singgih dalam keempat bukunya, yakni Dari Israel ke Asia, Berteologi dalam Konteks, Dua Konteks, dan Mengantisipasi Masa Depan menguraikan banyak isu tentang kontekstualisasi gereja.

Singgih menekankan bahwa gereja yang kontekstual adalah gereja yang sadar akan konteksnya, yaitu mengidentifikasi dan menyadari banyaknya masalah di dalam masyarakat dan banyaknya sudut pandang tentang masalah-masalah itu. Singgih mencatat bahwa kontekstualisasi teologi di Indonesia dipelopori di Sekolah Teologi Balewijoto Malang pada tahun 1920-an oleh Barend Schuurman.

Kini kontekstualisasi teologi diajarkan di sekolah-sekolah teologi bukan hanya sebagai sebuah mata pelajaran terpisah, melainkan juga sebagai penerapan di tiap mata pelajaran lain. Dalam mata pelajaran Didaktik Pendidikan Agama Kristen, misalnya, dipelajari konteks yang perlu diperhitungkan jika mengajar katekese tentang Alkitab sebagai firman Allah. Apakah itu berarti para penulis Alkitab didiktekan oleh Allah? Apakah para penulis itu diilhami hanya oleh ilham dari Allah ataukah juga oleh ilham pengalaman, latar belakang, dan jalan pikiran pribadinya? Banyak katekesan terbiasa meyakini bahwa kitab suci tiap agama berasal dari Allah. Tiap tanggal 17 Ramadhan dirayakan Nuzululquran, yaitu turunnya wahyu Alquran pertama kali kepada Nabi Muhammad saw. di Gua Hira. Apakah Alkitab juga turun dari surga?

Dalam pelajaran Didaktik juga dipelajari konteks jika mengajar anak-anak tentang Yesus yang turun ke dunia. Banyak anak terbiasa dengan cerita-cerita dewa yang menjelma sebagai bayi dalam buah semangka atau dalam batang bambu.

Masih dalam pelajaran Didaktik dipelajari konteks jika mengajar orang dewasa tentang "Anak yang Hilang". Beberapa budaya menabu kan seorang ayah merangkul dan mencium putra yang durhaka karena meminta warisan selagi ayahnya masih hidup.

 Contoh-contoh tadi dipelajari dalam Didaktik PAK dalam sesi tentang bingkai acuan. Tujuannya supaya pendeta peka terhadap bingkai-bingkai acuan naradidiknya, baik bingkai acuan kepribadian, bingkai acuan budaya, bingkai acuan religius, dan sebagainya. Di satu pihak kontekstualisasi berita Injil memperhitungkan rupa-rupa konteks umat masa kini, dan di lain pihak memperhitungkan rupa-rupa konteks zaman terjadinya perikop itu dua ribu tahun yang lalu. Memadukan kontekstualisasi dengan mata pelajaran lain tentu menambah muatan kerumitan. Sebagai pengampu pelajaran Didaktik saya harus mengaku bahwa di kelas saya sering pusing tujuh keliling.

Mungkin Anda berpikir bahwa kontekstualisasi ini cuma urusan sekolah teologi, bukan urusan gereja. Anda keliru. Memang yang mempelajarinya adalah sekolah teologi, namun yang mempraktikkan dan membutuhkannya adalah gereja.

Kontekstualisasi adalah upaya mengaitkan berita Injil dengan keadaan dan permasalahan umat. Gereja perlu dimampukan untuk mengerti makna dan relevansi berita Injil di dalam situasi di mana gereja itu ada.

Jika kita ingin berita Injil berbuah di masyarakat, langkah per tamanya adalah mengupayakan gereja berakar di masyarakat. Dengan istilah surat Yeremia tadi, "dirikanlah rumah .... ambillah istri akarlah! usahakanlah kesejahteraan ..." Maksudnya, berbuatlah kebun....

Bisakah kaktus, anggrek, dan teratai hidup kalau tidak berakar di tanah?

REFORMASI DIRI

REFORMASI DIRI

 

Pemuda ini tiap hari hanya bermain anggar. Sesudah itu, membaca novel tentang kesatria yang merayu-rayu putri cantik. Khayalan pemuda Spanyol ini tak kepalang tanggung, yaitu menikahi Putri Katalina yang wah dari Austria.

Akan tetapi, jiwa pemuda bangsawan ini pada suatu waktu berubah total gara-gara dua jilid buku yang dibacanya. Jalan hidupnya berubah sama sekali. la menjadi pendiri Ordo Yesuit. la menjadi Reformator Gereja, Luther dan Calvin di barisan Protestan, ia di barisan Katolik. Pola pikirnya masih berpengaruh sampai hari ini di bidang pekabaran Injil, persekolahan, dan pendidikan agama. la adalah Ignatius Loyola (1491-1556). Akan tetapi, bukankah Ignatius Loyola itu seorang tokoh kontra reformasi?

Loyola terlahir dengan nama Inigo Lopez. la 8 tahun lebihmuda dari Luther dan 8 tahun lebih tua dari Calvin la anak bungsu dari 14 bersaudara.

Persekolahan formal yang diterima Loyola pada masa kecil sungguh minim. Ada guru pribadi yang datang kepuri, namun pengetahuan yang diperolehnya sedikit. Yang banyak dipelajarinya hanya peraturan protokol keningratan. Demikian juga pendidikan imannya amat minim. Sehari-hari ia hanya bersantai dan berfoya-foya dengan teman sebayanya yang membawa dia ke dalam pergaulan buruk.

Kelak menjelang akhir hidupnya, Loyola mendiktekan autobiografinya kepada Luis da Camara (edisi Indonesia: Wasiat dan Petuah Santo Ignatius, terbitan Kanisius). Tertulis, "Sampai umur 26 tahun dia (aku) hanyalah memikirkan permainan duniawi, dan kegembiraan terbesar adalah memenangi pertandingan senjata demi mendapat kehormatan."

Perubahan besar terjadi ketika Loyola berusia 26 tahun. la tergabung dalam pasukan yang mempertahankan benteng Pampelona dari serangan Prancis. Saat komandannya berniat menyerah, Loyola tetap gigih bertempur. la terkena peluru meriam. Kedua kakinya patah sehingga dibedah ulang. Beberapa minggu kemudian ia diusung dengan brankar berhari-hari ke daerah asalnya.

Mungkin akibat tergoyang-goyang ketika diusung brankar, tulang yang dibedah itu berubah posisi. Lalu para dokter mematahkan kembali tulang itu dan melakukan operasi kedua kali.

Beberapa bulan kemudian hasil bedah itu ternyata mengecewakan. Kaki kiri lebih pendek dari kaki kanan. Loyola yang selalu ingin tampak gagah minta dioperasi kembali.

Berbulan-bulan Loyola tidak turun dari ranjang. Sungguh membosankan. la pun meminta buku, namun tidak ada buku roman kesatria kasmaran kepada putri genit. la mendapat dua buku yang sama sekali tidak menarik. Apa boleh buat. Loyola pun mulai membaca. Ternyata kedua buku ini mengubah jalan hidupnya secara total.

Buku pertama adalah renungan tentang hidup dan sosok Yesus. Buku kedua renungan tentang kiprah para tokoh iman. Loyola tercengang-cengang membaca Fransiskus Assisi, anak pengusaha besar, bertukar pakaian dengan seorang pengemis (lih. "Doa Fransiskus dari Assisi" di Selamat Pagi Tuhan,dan"Makhluk itu Majemuk"di Selamat Berkarunia).

Kedua buku itu dibacanya berulang-ulang. Loyola merasa malu kepada dirinya sendiri. Tertulis, "Dia (aku) merasa jijik teringatakan perilaku kedagingan dulu." Akan tetapi, tidak lama kemudian ia ingin lagi melakukan perbuatan-perbuatan jijik itu.

Tiap hari selama beberapa bulan Loyola bergumul dalam kebimbangan memilih menjalani hidup yang lama ataukah membarui hidupnya. Tertulis, "la (aku) mulai berpikir lebih serius mengenai hidup dan merasa perlu membuat pilihan." Dalam perkembangan waktu ia menulis, "Akhirnya pikiran pertama, yaitu mengenai hal-hal duniawi, mulai ditinggalkan. Hal-hal duniawi dikalahkan oleh keinginan yang luhur ... ia (aku) merasa muak terhadap hidup yang dulu, khususnya mengenai kehidupan seksual ... "

Dengan tekad itu Loyola pergi ke Barcelona. Di hadapan seorang imam ia membuat pernyataan melepas semua hak atas harta benda. la mengganti pakaiannya yang mahal dengan pakaian sederhana. Selama setahun ia bersemedi di sebuah goa untuk meminta penglihatan dari Allah.

Pada tahap usia ini pikiran Loyola diwarnai oleh buku Meniru Kristus (The Imitation of Christ) karya Thomas Kempis (1380-1471). Di situ tertulis, "Banyak orang mau mendapat kegembiraan dari Kristus, namun hanya sedikit yang rela menderita demi Dia. Banyak orang mengikut Kristus karena cari untung, hanya sedikit yang bersedia menanggung rugi." Padahal kita adalah anak dan ahli waris "jika kita menderita bersama-sama dengan Dia" (Rm. 8:17). BukuThomas Kempis itu yang terbit tahun 1427 hingga kini masih terusdicetak ulang dalam rupa-rupa bahasa (lih. "Swami Vivekananda" di Selamat Berjuang).

Tak lama kemudian Loyola berlayar ke Israel. Namun, penguasa militer Turki yang menduduki Israel melarang Loyola mengabarkan Injil. Paraimam Ordo Fransiskan di Israel menyarankan Loyola untuk membekali diri dengan pengetahuan dasar pekabaran Injil.

Loyola pun kembali ke Spanyol untuk masuk universitas. la ditolak karena tidak tahu bahasa Latin. Namun, ia pantang menyerah. Mes kipun berusia 33 tahun, ia duduk di kelas bersama murid-murid SMA. Dua tahun kemudian ia diterima di Universitas Alcala.

Kecerdasan dan kesungguhannya melejitkan Loyola di perguruan itu. Di luar kelas ia mencari kesibukan. la mengumpulkan orang-orang gelandangan dan ia mengajar katekese kepada mereka.

Kegiatan Loyola itu tidak disukai para pastor. la pun dipanggil menghadap tim pemeriksa ajaran agama (inkuisisi), namun ternyata tidak ditemukan penyimpangan atau kesesatan.

Meskipun demikian, beberapa bulan setelah itu ia dijebloskan ke penjara tanpa alasan yang jelas. Di penjara pun ia mengajar katekese. Akhirnya, ia dibebaskan dengan syarat tidak boleh mengajar agama.

Terkekang oleh larangan itu Loyola pindah kota dan masuk Universitas Salamanka. Di sini pun ia dipenjara sekian minggu karena mengajar katekese.

Loyola kecewa, ia berjalan kaki melewati pegunungan Pirene yang diselimuti salju menuju Paris. la masuk Universitas Montaigu tempat Calvin juga bersekolah, namun mereka tidak saling jumpa karena berbeda angkatan.